RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Pajak Penetapan Kurang Bayar PPnBM atas Furnitur

Hamida Amri Safarina
Rabu, 24 Juni 2020 | 14.40 WIB
Sengketa Pajak Penetapan Kurang Bayar PPnBM atas Furnitur

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai penetapan kurang bayar pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) furnitur. Wajib pajak merupakan perusahaan padat karya yang memproduksi barang berupa perabotan/mebel/furnitur dan menjualnya ke konsumen.

Wajib pajak menyatakan tidak setuju apabila pihaknya diwajibkan memungut dan harus membayar kurang bayar PPnBM. Sebab, tidak ada pengusaha furnitur lain yang diwajibkan untuk memungut dan membayar PPnBM.

Menurut wajib pajak, otoritas telah melakukan tindakan diskriminatif kepadanya. Terlebih lagi, wajib pajak tidak pernah dikukuhkan ataupun mengukuhkan diri sebagai pengusaha kena pajak (PKP) yang wajib memungut PPnBM. Dengan demikian, koreksi yang dilakukan otoritas pajak dinilai tidak tepat dan harus dibatalkan.

Sebaliknya, otoritas pajak menilai bahwa wajib pajak wajib memungut dan membayar PPnBM. Hal ini dikarenakan wajib pajak telah memenuhi ambang batas tertentu sebagai kriteria untuk pemungutan PPnBM atas furnitur. Dengan demikian, koreksi yang dilakukan otoritas pajak sudah tepat dan dapat dipertahankan.

Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan menolak permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Sementara itu, di tingkat PK, Mahkamah Agung ­­­­menolak permohonan dari wajib pajak selaku Pemohon PK.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau di sini.

Kronologi
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Dalam putusan banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat bahwa tidak ditetapkan/diterbitkannya ketetapan membayar PPnBM terhadap pengusaha furnitur yang lain tidak bisa dijadikan pembenaran dan dasar bahwa wajib pajak tidak terutang PPnBM. Dengan begitu, koreksi yang dilakukan otoritas pajak sepatutnya dapat dipertahankan.

Berdasarkan pertimbangan di atas, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan menolak permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak.  Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak No. Put. Put.65253/PP/M.VIIIA/17/2015 tertanggal 28 Oktober 2015, wajib pajak mengajukan Permohonan PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 15 Januari 2016.

Pokok sengketa atas perkara ini ialah koreksi dasar pengenaan pajak (DPP) PPnBM masa pajak Januari sampai dengan Desember 2009 senilai Rp69.538.762.198.

Pendapat Pihak yang Bersengketa
PEMOHON PK menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Pemohon berdalil bahwa adanya definisi mengenai keberlakuan PPnBM yang sangat tidak jelas mengakibatkan multitafsir dan menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaannya. Pemungutan PPnBM ini dinilai memberatkan dunia usaha dalam bersaing dengan produk-produk impor lainnya.

Dalam perkara ini, Pemohon PK telah menemukan bukti baru (novum) yang belum pernah diajukan dalam persidangan sebelumnya. Adapun bukti baru yang dimaksud ialah surat dari Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) No. 258/DE/IX/2015 tertanggal 15 September 2015.

Surat tersebut menjelaskan bahwa tidak ada anggota Asmindo yang memungut dan menyetorkan PPnBM dalam transaksi penjualan produk mebel yang dihasilkannya. Hal ini dikarenakan tidak ada instruksi dari Termohon PK kepada anggota Asmindo lainnya untuk memungut dan menyetorkan PPnBM termaksud.

Berdasarkan novum tesebut terbukti bahwa dari dulu sampai sekarang tidak ada satu pun perusahaan furnitur di Indonesia yang memungut PPnBM. Apabila Termohon masih mewajibkan pemungutan PPnBM, Pemohon diperlakukan secara diskriminasif di antara sesama wajib pajak. Adanya tindakan diskriminatif tersebut dinilai berakibat hukum pada batalnya surat ketetapan pajak kurang bayar PPnBM masa pajak Januari sampai dengan Desember 2009.

Selain itu, hingga sengketa ini terjadi, Pemohon PK tidak pernah dikukuhkan ataupun mengukuhkan diri sebagai pengusaha kena pajak (PKP) yang memungut PPnBM. Pihaknya hanya sebagai pengusaha pemungut PPN saja.

Dengan demikian, Pemohon PK tidak berwenang untuk memungut PPnBM dari konsumen. Selain itu, mengingat ada ketidakpastian dan peraturan yang bertentangan terkait pemungutan PPnBM atas furnitur ini, seharusya dibuat peraturan baru dan dinilai harus berlaku surut.

Sebaliknya, Termohon PK menyatakan tidak setuju atas seluruh dalil Pemohon PK. Sebab, dalil-dalil yang disampaikannya tidak berdasarkan bukti dan alasan yang jelas. Perhitungan yang dilakukan Termohon atas kurang bayar PPnBM telah berdasarkan nilai ambang batas yang dijadikan dasar untuk menilai suatu perabotan/mebel/furnitur sebagai barang mewah berdasarkan UU No. 8 Tahun 1983 s.t.d.t.d. UU No. 18 Tahun 2000.

Pertimbangan Mahkamah Agung
MAHKAMAH Agung berpendapat bahwa alasan-alasan permohonan Permohon PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan menolak permohonan banding sudah tepat dan benar. Terdapat dua pertimbangan Majelis Hakim Agung.

Pertama, koreksi DPP PPnBM masa pajak Januari sampai dengan Desember 2009 senilai Rp69.538.762.198 dapat dibenarkan. Bukti baru berupa surat dari Asmindo yang diajukan Pemohon dinilai tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Kedua, dalam perkara a quo, apabila terdapat peraturan baru terkait pemungutan PPnBM tidak dapat diberlakukan asas retroaktif atau berlaku surut. Pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak sudah tepat dan benar. Oleh karena itu, koreksi Termohon PK dapat dipertahankan karena telah sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.

Berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan PK yang diajukan tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.