RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Pengenaan PKB dan BBNKB Berdasarkan Kontrak Karya

DDTC Fiscal Research and Advisory
Rabu, 08 September 2021 | 18.02 WIB
Sengketa Pengenaan PKB dan BBNKB Berdasarkan Kontrak Karya

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai pengenaan pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) berdasarkan pada kontrak karya.

Dalam permohonan PK, wajib pajak menyatakan pengenaan PKB dan BBNKB atas kendaraan bermotor berupa alat berat dan alat besar oleh otoritas pajak tidak sesuai dengan ketentuan kontrak karya.

Dalam kontrak karya disebutkan pengenaan pajak daerah, termasuk PKB dan BBNKB, harus atas persetujuan Pemerintah Indonesia. Tarifnya tidak lebih berat dari undang-undang dan peraturan yang berlaku saat kontrak karya dibuat. Dalam konteks ini, pemungutan PKP dan BBNKB seharusnya merujuk pada kontrak karya dan peraturan pajak daerah yang berlaku saat itu.

Sebaliknya, otoritas pajak menyatakan pengenaan PKB dan BBNKB merujuk pada Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) yang berlaku saat ini. Otoritas pajak menyatakan kontrak karya tersebut dapat dikecualikan dalam pemungutan PKB dan BBNKB. Kontrak karya tidak dapat dinyatakan sebagai lex specialis terhadap UU PDRD dan Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat No. 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Perda 1/2011).

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau perpajakan.id.

Kronologi

WAJIB pajak mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan kontrak karya tidak termasuk dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan seperti yang telah diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011.

Majelis Hakim Pengadilan Pajak menilai asas lex speasialis derogat legi generali hanya diberlakukan terhadap produk hukum yang sama dengan substansi masalah yang diatur juga sama. Dalam konteks tersebut, antara kontrak karya dan UU PDRD merupakan dua produk hukum yang berbeda. Kontrak karya bersifat perdata, sedangkan UU PDRD bersifat publik.

Selain itu, Majelis Hakim juga menilai kontrak karya tidak diatur secara khusus dalam UU PDRD. Oleh karena itu, ketentuan mengenai pemungutan PKB dan BBNKB hanya berdasarkan pada aturan yang ada dalam UU PDRD.

Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan menolak seluruh permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak No. Put. 48568/PP/ M.XII/04/2013 tanggal 28 November 2013, wajib pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 14 Maret 2014.

Pokok sengketa dalam perkara ini adalah perbedaan penggunaan dasar hukum pengenaan PKB dan BNNKB yang tidak dipertahankan Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Pendapat Pihak yang Bersengketa

PEMOHON PK menyatakan tidak sepakat dengan koreksi Termohon PK. Perlu dipahami, Pemohon PK beroperasi berdasarkan pada kontrak karya yang telah disepakati antara Pemerintah Indonesia dengan Pemohon PK pada 2 Desember 1986. Pemohon PK menilai pertimbangan hukum Putusan Pengadilan Pajak keliru dan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Dalam perkara ini, pengaturan mengenai kewajiban perpajakan Pemohon PK tunduk pada kontrak karya yang telah dibuat antara Pemohon PK dan Pemerintah Indonesia. Sebab, kontrak karya tersebut memiliki sifat lex spesialis terhadap UU PDRD dan Perda 1/2011. Sebagai informasi, lex speasialis adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum.

Selain itu, berdasarkan pada Pasal 13 ayat (11) kontrak karya antara Pemohon PK dan Pemerintah Indonesia, pemungutan pajak yang diatur dalam kontrak karya sudah disetujui pemerintah pusat. Penggunaan dasar hukum dalam menetapkan PKB dan BBNKB dengan berdasarkan pada UU PDRD dan Perda 1/2011 tidak dapat dibenarkan.

Menurut Pemohon PK, pihaknya memang tetap dapat dikenakan pajak daerah. Namun demikian, besaran tarif pajaknya tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku saat penandatanganan kontrak karya dilakukan. Adapun ketentuan yang berlaku saat kontrak karya dibuat ialah Undang-Undang Darurat No. 11 Tahun 1957 dan Perpu No. 8 Tahun 1959.

Sebaliknya, Termohon PK menyatakan tidak setuju dengan pendapat Pemohon PK. Menurutnya, kontrak karya tersebut dapat dikecualikan dalam melaksanakan pemungutan PKB dan BBNKB. Kontrak karya tidak dapat dinyatakan sebagai lex specialis terhadap UU PDRD dan Perda 1/2011.

Dalil Termohon PK tersebut didasarkan pada Surat Mahkamah Agung No. KMA/270/V/1/2005 yang menyatakan kontrak karya berada dalam lingkup hukum perdata, sedangkan UU PDRD berada dalam lingkup hukum publik. Dengan demikian, kontrak karya tidak tunduk pada asas lex specialis sebagaimana didalilkan Pemohon PK.

Berdasarkan pada uraian di atas, Termohon PK menyatakan ketentuan pemungutan PKB dan BBNKB seharusnya berdasarkan pada UU PDRD yang berlaku saat ini. Termohon PK menilai koreksi dengan dasar hukum yang digunakannya tersebut sudah benar dan dapat dipertahankan.

Pertimbangan Mahkamah Agung

MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan menolak permohonan banding tidak dapat dipertahankan. Terdapat 2 pertimbangan Mahkamah Agung sebagai berikut.

Pertama, kontrak karya antara Termohon PK dengan Pemohon PK merupakan lex spesialis terhadap UU PDRD dan Perda 1/2011. Kontrak karya tersebut telah disetujui pemerintah pusat dan pemerintah daerah setelah mendapat rekomendasi dari DPR. Oleh karena itu, kontrak karya mengikat Pemohon PK dan Pemerintah Indonesia.

Kedua, dalam perkara ini, ketentuan mengenai pajak, pungutan, atau retribusi dalam kontrak karya mengacu pada ketentuan yang berlaku saat disetujuinya perjanjian tersebut. Mahkamah Agung menilai tidak seharusnya Pemohon PK dikenakan PKB dan BBNKB selama kontrak karya masih berlaku dan belum berakhir. Selama kontrak karya masih berlaku, pemungutan PKB atas alat berat merujuk pada perjanjian tersebut.

Berdasarkan pada pertimbangan di atas, alasan-alasan permohonan PK cukup berdasar dan patut untuk dikabulkan. Dengan demikian, Termohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan harus membayar biaya perkara. Putusan PK ini diucapkan Hakim Ketua dalam sidang yang terbuka untuk umum pada 31 Maret 2015. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.