ANALISIS PAJAK INTERNASIONAL

Meninjau Ulang Kebijakan P3B dan Transfer Pricing Indonesia

Redaksi DDTCNews
Sabtu, 14 April 2018 | 08.28 WIB
ddtc-loaderMeninjau Ulang Kebijakan P3B dan Transfer Pricing Indonesia
DDTC Fiscal Research.

SEBAGAI wujud komitmen mengembangkan kompetensi karyawannya, DDTC secara konsisten mengirimkan karyawannya ke berbagai program pendidikan dan short course perpajakan ternama di luar negeri. Salah satunya adalah short course dengan tema International Tax Law and Policy yang diselenggarakan oleh Faculty of Law University of Maastricht selama tiga bulan pada awal tahun 2018 lalu.

Dalam program ini, berbagai ahli dan guru besar perpajakan internasional di Eropa diundang sebagai pengajar bagi peserta yang terpilih dari seleksi. Denny Vissaro, Fiscal Economist DDTC, merupakan karyawan yang dikirim oleh DDTC untuk menjalani program tersebut. Berbagai topik kebijakan pajak internasional dibahas secara komprehensif. Terutama dalam kaitannya dengan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan transfer pricing beserta berbagai isu yang berkembang.

Dalam kaitannya dengan kedua topik tersebut, terdapat berbagai perubahan yang sangat cepat sehingga berbagai negara melakukan peninjauan ulang terhadap kebijakan P3B dan transfer pricing, tidak terkecuali Indonesia. Lantas, hal-hal apakah yang perlu ditinjau dan langkah apa saja yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah Indonesia? Berikut catatannya.

Antisipasi MLI dan Renegosiasi P3B

Dewasa ini, sistem pajak internasional semakin berfokus pada upaya mengatasi praktik penghindaran pajak (double non-taxation). Pada dasarnya, peran tersebut juga diemban oleh P3B. Akan tetapi, perkembangan teknologi dan bisnis yang sangat cepat menciptakan peluang atau celah yang dimanfaatkan oleh pelaku bisnis untuk mengurangi kewajiban pajaknya. Dengan demikian, diperlukan perbaikan terhadap P3B yang ada.

Mengingat bahwa saat ini sudah terdapat lebih dari 3.500 P3B di seluruh dunia, maka perubahan P3B yang dilakukan secara satu per satu dirasa akan memakan waktu yang terlalu lama. Dibutuhkan adanya suatu instrumen yang memungkinkan setiap negara untuk mengubah substansi setiap P3B yang dimiliki secara simultan.

Untuk itu, OECD berinisiatif memediasi perubahan tersebut melalui Multilateral Instrumen (MLI). Dalam instrumen ini, OECD menetapkan beberapa unsur perubahan yang diperlukan sebagaimana telah dirumuskan dalam Aksi Base Erosion and Profit Shifting (BEPS Actions) ke dalam berbagai pasal. Beberapa di antaranya seperti hybrid mismatch arrangements (Action 2), treaty abuse (Action 6), BUT artifisial (Action 7), dan aturan mekanisme penyelesaian sengketa (Action 14).

Pada Juni 2017 lalu, 71 negara telah menandatangani partisipasi mereka dalam MLI. Selanjutnya, setiap negara akan menetapkan posisi mereka atas pasal mana saja yang akan diadopsi dan P3B dengan negara mana saja yang akan mengalami perubahan tersebut.

Persoalannya, apakah melalui mekanisme MLI upaya penyempurnaan P3B dapat dicapai? Sebagai catatan, hanya rencana Action 6 dan 14 saja yang dijadikan standar minimum. Jika terhadap suatu pasal kedua negara memiliki posisi yang berbeda, maka tidak ada dampak perubahan yang dihasilkan atas pasal tersebut.

Sebagai contoh, walau upaya penghindaran pajak dengan menghindari status Badan Usaha Tetap (BUT) telah dijadikan opsi dalam Pasal 12 dan 13 MLI dan diadopsi Indonesia, implementasinya akan bergantung pada posisi yang dipilih oleh negara mitra. Kondisi serupa juga berlaku dengan klausul lainnya yang diadopsi oleh Indonesia.

Tidak mengherankan jika Brauner (2018) meyakini bahwa meskipun implementasi MLI dipandang sebagai awal yang baik dalam menunjukkan sikap kooperatif berbagai negara, dampaknya diprediksi tidak akan terlalu signifikan.

Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah untuk mengantisipasi ketidakberhasilan MLI.  Setidaknya terdapat tiga tahapan yang perlu dilakukan pemerintah sebagai berikut ini:

Pertama, mengupayakan renegosiasi P3B secara bilateral. Melalui cara ini, pemerintah kembali mendapat kesempatan untuk memperbaiki klausul dalam P3B yang belum tercakup oleh hasil implementasi MLI.

Kedua, untuk mengoptimalkan hasil renegosiasi tersebut, diperlukan kebijakan P3B yang merepresentasikan opsi terbaik bagi Indonesia. Mengandalkan standar P3B yang berlaku umum (seperti OECD atau UN Model) saja sebagai acuan tidak cukup. Perlu dicatat bahwa standar tersebut tidak ada yang mewakili kepentingan Indonesia ataupun negara manapun secara utuh. Model internasional disusun untuk dijadikan sebagai acuan yang telah mencerminkan titik tengah kompromi alokasi hak pemajakan antara dua negara.

Dengan memiliki kebijakan P3B yang ideal, pemerintah tidak hanya dapat mencegah double non-taxation atas hasil renegosiasi P3B, namun juga membuka peluang pengaturan alokasi hak pemajakan yang lebih menguntungkan Indonesia.

Keberadaan kebijakan tersebut akan membantu pemerintah dalam memetakan prioritas yang ingin dicapai dengan negara mitra. Selain itu, juga dapat memperkuat posisi daya tawar pemerintah Indonesia di hadapan negara lain.

Ketiga, kesiapan dalam menjalani proses renegosiasi juga turut menjadi penentu hasil yang diperoleh. Sebagaimana diungkapkan oleh Hearson (2015), kurangnya penguasaan negotiator negara berkembang terhadap keterkaitan setiap substansi yang disepakati dalam P3B berakibat signifikan terhadap substansi P3B yang dihasilkan. Tidak mengherankan, jika Avi-Yonah (2009) berpendapat bahwa P3B antara negara maju dan negara berkembang cenderung lebih merugikan negara berkembang. Pendapat Avi-Yonah kemudian dikonfirmasi oleh temuan Wijnen dan de Goede (2013) secara empiris.

Dampak beberapa pengaturan dalam P3B yang merugikan telah disadari oleh berbagai negara berkembang, dan ada keinginan untuk mendorong upaya untuk meninjau ulang P3B yang mereka miliki. Beberapa negara seperti Argentina, Afrika Selatan, Mongolia, dan Zambia bahkan telah melakukan negosiasi ulang atas beberapa P3B yang dimiliki (Hearson, 2016).

Konsep Value Creation

Isu penting lainnya dalam tataran pajak internasional yang perlu mendapat perhatian pemerintah adalah isu transfer pricing. Dalam menentukan besaran laba perusahaan yang layak dipajaki di setiap entitas, konsep pembentukan nilai (value creation) yang diinisiasi oleh OECD telah menjadi standar yang diterima secara umum (Olbert dan Spenger, 2017). Melalui konsep ini, penentuan alokasi laba mempertimbangkan kontribusi setiap entitas terkait dalam memberikan nilai terhadap suatu produk yang dihasilkan.

Walau demikian, definisi atas value creation serta bagaimana cara menerapkannya belum mencapai kesepakatan. Perdebatan mengenai hal tersebut salah satunya terjadi dalam konteks ekonomi digital, di mana komponen apa saja dan sejauh mana komponen tersebut menjadi value driver masih belum disepakati. Misalnya, dalam model bisnis digital yang salah satunya berbasis pada data dan banyaknya pengguna (user), perbedaan pandangan terdapat pada sejauh mana data dan banyaknya pengguna berkontribusi terhadap value creation.

Bagi negara yang merupakan basis konsentrasi banyaknya pengguna seperti Indonesia, Cina dan India, tentu akan lebih menguntungkan apabila hal tersebut dianggap sebagai komponen pemberi nilai yang tinggi terhadap penghasilan yang diperoleh. Akan tetapi, negara yang bertindak sebagai pusat aset tidak berwujud tentu tidak menginginkan hal itu terjadi. Atas hal ini, penting bagi pemerintah Indonesia untuk turut berpartisipasi memperjuangkan konsensus yang sejalan dengan kepentingan fiskal pemerintah.

Selain pajak digital, penerapan konsep value creation juga menjadi panduan untuk melakukan analisis fungsi, aset, dan risiko (FAR) dalam konteks transfer pricing. Sebagai contoh, dalam menentukan remunerasi yang sesuai terhadap pembentukan aset tidak berwujud perlu dilakukan analisis terhadap fungsi yang signifikan terkait dengan pengembangan, peningkatan, pemeliharaan, perlindungan dan eksploitasi (Development, Enhancement, Maintenance, Protection, and Exploitation/DEMPE) atas aset tidak berwujud.

Untuk mengoptimalkan akurasi penentuan value creation dalam aspek transfer pricing, kelengkapan dokumentasi pelaporan beserta kapasitas administrasi akan menjadi sangat penting untuk mengidentifikasi praktik pengalihan laba (profit shifting) secara tepat sasaran.

Kesimpulan

Ke depan, dengan mencermati dua contoh perkembangan isu P3B dan transfer pricing yang telah dibahas di atas, bukan tidak mungkin jika dinamika isu pajak internasional berlangsung semakin intens dengan tingkat kompleksitas yang semakin tinggi. Kapasitas administrasi, kelengkapan aturan kebijakan yang dibutuhkan, dan kejelian pemerintah membaca arah perubahan lanskap pajak internasional ke depan akan sangat menentukan ketercapaian target fiskal pemerintah dalam jangka panjang.

Editor : Darussalam
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.