ANALISIS TRANSFER PRICING

Peran Credit Rating dalam Analisis Kewajaran Pinjaman Afiliasi

Redaksi DDTCNews
Senin, 04 Februari 2019 | 09.32 WIB
ddtc-loaderPeran Credit Rating dalam Analisis Kewajaran Pinjaman Afiliasi
DDTC Consulting

TRANSAKSI pinjaman intragrup merupakan salah satu jenis transaksi yang sering dilakukan dalam suatu grup usaha. Namun, hingga saat ini belum ada pedoman khusus dari OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) terkait dengan kewajaran transaksi pinjaman intragrup usaha.

Hal ini berbeda dengan transaksi lain seperti, transaksi jual beli, jasa, pemanfaatan harta tidak berwujud atau restrukturisasi bisnis yang sudah memiliki pembahasan tersendiri pada OECD Transfer Pricing Guidelines 2017.

Sejalan dengan meningkatnya volume penggunaan pinjaman sebagai alat pendanaan serta perhatian otoritas pajak terhadap transaksi ini, OECD akhirnya mengeluarkan Public Discussion Draft BEPS Actions 8-10 Financial Transactions, tepatnya pada Juli 2018. Suatu angin segar yang diharapkan dapat menjadi cikal bakal munculnya panduan khusus untuk kewajaran transaksi pinjaman intragrup di masa depan.

Salah satu hal menarik yang dijabarkan adalah penegasan penggunaan credit rating dalam penetapan tingkat bunga pinjaman. Pada Discussion Draft BEPS Actions 8-10 Financial Transaction disebutkan bahwa: “The arm's length interest rate for a tested loan can be benchmarked against publicly available data for other borrowers with the same credit rating for loans with sufficiently similar terms and conditions and other comparability factors.”

Pernyataan tersebut mengingatkan kembali pentingnya credit rating dalam kewajaran transaksi pinjaman intragrup baik dari sisi pengujian (testing) maupun penentuan (setting) tingkat bunga pinjaman.

Hal ini melengkapi faktor kesebandingan lain yang perlu diperhatikan seperti jumlah pokok pinjaman, jangka waktu pinjaman, tujuan pinjaman, level senioritas subordinasi pinjaman, lokasi geografis debitur, mata uang pinjaman, aset penjamin, adanya garansi, jenis suku bunga (bunga tetap atau mengambang), dan metode pelunasan pinjaman (Bakker, 2013).

Pada praktiknya, dalam transaksi pinjaman intragrup terkadang credit rating pihak debitur tidak diperhitungkan sebagai faktor pertimbangan dalam penentuan tingkat bunga pinjaman. Hal ini menyebabkan sering ditemukannya grup usaha yang memberlakukan tingkat bunga pinjaman yang sama untuk semua anggota grup usahanya tanpa mempertimbangkan perbedaan profil risiko dari setiap anggota grup usaha.

Berkaca kepada transaksi yang terjadi pada pihak independen, saat akan menentukan syarat dan ketentuan pinjaman, pihak kreditur akan memperhitungkan risiko gagal bayar dari debitur serta kompensasi yang akan dibebankan kreditur terhadap risiko yang ditanggungnya.

Tingkat risiko ini dicerminkan oleh credit rating debitur. Credit rating debitur yang lebih rendah merefleksikan risiko gagal bayar yang lebih tinggi sehingga atas risiko tersebut kreditur berhak untuk mendapatkan kompensasi berupa tingkat bunga yang lebih tinggi.

Penggunaan credit rating dalam transaksi pinjaman intragrup perlu dilakukan secara teliti dengan memperhatikan berbagai macam faktor. Australia merupakan salah satu negara yang sudah memberikan panduan khusus terkait dengan kewajaran pinjaman intragrup.

Kasus Chevron yang terjadi di Australia juga menjadi salah satu kasus transaksi pinjaman intragrup yang menarik. Kasus ini menekankan pentingnya pemenuhan syarat faktor kesebandingan sebagai dasar pengujian kewajaran tingkat bunga, yang di antaranya menyinggung bahwa pengaruh implisit dari grup usaha tidak akan memiliki dampak signifikan terhadap penentuan tarif bunga dalam transaksi intragrup.

Pengadilan juga menyebutkan bahwa analisis risiko kredit debitur perlu mengambil sudut pandang dari pihak afiliasi sebagai kreditur. Penilaian credit rating yang dilakukan dalam transaksi intragrup bisa jadi berbeda dengan sudut pandang yang dilakukan rating agency ketika melakukan analisis pinjaman pihak bank kepada pihak independen. (Petruzzi dan Prasanna, 2018).

Seringkali terjadi kekeliruan atau bias pada penilaian credit rating suatu entitas yang menjadi anggota dari grup usaha terutama karena adanya asumsi bahwa grup usaha tidak akan membiarkan anggotanya mengalami kegagalan pembayaran pinjaman.

Untuk itu perlu diperhatikan bahwa analisis credit rating dari suatu entitas harus diperhitungkan berdasarkan basisstand-alone.  Salah satu alasannya adalah karena pada akhirnya tanggung jawab pembayaran pinjaman akan melekat pada entitas secara stand-alone bukan pada grup usaha secara keseluruhan.

Cara ini juga sudah menjadi praktik yang standar di beberapa negara. Contohnya, di Inggris yang memiliki perspektif bahwa pengaruh implisit maupun eksplisit dari grup usaha tidak diperhitungkan dalam penentuan credit rating anggota grup usaha (Lolliri , 2017).

Di sisi lain, penggunaan credit rating dapat menyebabkan kesulitan tersendiri jika diterapkan pada entitas yang baru berdiri, entitas special purpose vehicle (SPV), dan juga entitas yang baru melakukan kegiatan merger ataupun demerger.

Dalam kasus seperti ini, perlu dilakukan analisis credit rating melalui proses due diligence yang lebih komprehensif dengan melibatkan analisis terkait dengan tujuan dilakukan pinjaman, rencana pembayaran pinjaman serta juga melibatkan analisis bisnis, proyeksi pendapatan, arus kas, dan kekuatan neraca debitur.

Sebagai pertimbangan akhir, perlu diperhatikan bahwa pada transaksi independen terdapat kompetisi tersendiri dari pelaku di pasar keuangan. Akibatnya, akan sulit menemukan nilai tunggal untuk tingkat bunga pinjaman meskipun perjanjian tersebut berada pada tingkat credit rating yang sama.

Faktor kesebandingan lain juga akan memengaruhi tingkat bunga aktual sehingga dalam proses penetapan kewajaran tingkat bunga selalu terdapat kemungkinan untuk melakukan penyesuaian agar mendapatkan hasil yang lebih sebanding dan dapat diandalkan.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.