ANALISIS PAJAK

Proposal Pajak Digital OECD: Indonesia Dukung yang Mana?

Redaksi DDTCNews
Selasa, 12 Februari 2019 | 11.02 WIB
ddtc-loaderProposal Pajak Digital OECD: Indonesia Dukung yang Mana?
DDTC Consulting

MENJELANG Pemilu 2019, isu-isu politik makin ramai dibahas di Indonesia. Namun, terdapat isu politik yang juga sedang panas-panasnya dibicarakan di lanskap internasional, yaitu cara mengenakan pajak atas raksasa ekonomi digital (pajak digital) yang berkaitan erat dengan risiko penghindaran pajak.

Pada 2009, dunia dihebohkan oleh pemberitaan media-media di Inggris yang mengungkap skema penghindaran pajak yang dilakukan oleh Google. Tidak hanya itu. Amazon menjadi target kecaman publik Inggris setelah Public Accounts Committee Hearing pada 2012 terkait dengan tuduhan penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan tersebut. Kedua perusahaan memanfaatkan model bisnis digital untuk menghindari pajak di berbagai negara.

Empat tahun setelah OECD Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action 1 Final Report 2015 - Addressing the Tax Challenges ofthe Digital Economy diterbitkan, negara-negara masih belum mencapai konsensus internasional bagaimana cara memajaki raksasa ekonomi digital atau, lebih tepatnya, bagaimana membagi hak pemajakan atas penghasilan perusahaan di era ekonomi digital.

Tidak adanya solusi yang diberikan oleh OECD akhirnya memicu beberapa negara untuk mengambil tindakan unilateral dalam mengenakan pajak digital. India mulai mengenakan equalisation levy pada 2016 atas pembayaran jasa pemasaran digital ke luar negeri.

Adapun Italia berencana mengenakan pajak serupa mulai tahun 2019 ini. Israel telah memasukkan ’significant digital presence’sebagai kriteria pembentukan permanent establishment di negaranya. Negara-negara lain, seperti Austria, Prancis, dan Spanyol, juga telah mulai membahas rancangan pajak digitalnya sendiri.

Ketidaksabaran negara-negara ini bukan tanpa alasan. Kerugian yang diakibatkan penghindaran pajak yang dilakukan Google untuk negara-negara Uni Eropa pada 2013-2015 saja diperkirakan menembus lebih dari €5 juta atau setara dengan Rp80 triliun. Setiap negara tentunya memiliki kepentingannya sendiri untuk mempertahankan basis pajaknya.

Selain itu, tekanan publik terhadap pemerintah pun makin meningkat karena isu ini membawa nama-nama besar seperti Google, Amazon, dan Facebook. Ditambah dengan liputan media yang tiada henti, isu pajak yang sebelumnya kurang dilirik berkembang menjadi isu politik nasional maupun internasional.

Brian Jenn, Deputi Pajak Internasional Kementerian Keuangan Amerika Serikat, bahkan menyatakan diskusi pajak digital ini menjadi lebih dimotivasi oleh ambisi politik yang dirasionalisasi daripada diskusi teknis (McLoughlin, 2019).

Kebijakan pengenaan pajak digital secara unilateral memang merupakan kedaulatan masing-masing negara. Namun demikian, kebijakan tersebut dinilai tidak dapat dijadikan solusi jangka panjang. Langkah unilateral tidak hanya dapat menyebabkan pajak berganda tetapi juga ketidakstabilan sistem pajak internasional.

Apabila dibiarkan, hal ini dapat menimbulkan biaya yang besar bagi pebisnis dan negara (Johnston, 2018). Oleh karena itu, OECD berjanji untuk menerbitkan final report pada tahun 2020 terkait solusi pajak digital yang disepakati secara global.

Tiga Solusi
SAMPAI saat ini, terdapat tiga proposal solusi pajak digital utama yang sedang dibahas oleh OECD Task Force on the Digital Economy (TFDE). Proposal pertama yang disponsori oleh Inggris mengajukan pajak digital berdasarkan partisipasi dan jumlah pengguna (user).

Proposal kedua yang disponsori oleh Amerika Serikat mengajukan pajak digital berdasarkan aktivitas pemasaran. Yang terakhir, proposal yang disponsori oleh Jerman dan Prancis mengajukan rezim pajak minimal untuk controlled foreign corporations.

Melihat dari kacamata Indonesia, proposal pertama dan proposal kedua tentu lebih menggiurkan. Jumlah penduduk Indonesia yang besar dan tingkat penetrasi internet yang terus meningkat memungkinkan Indonesia untuk mengambil porsi pajak yang cukup besar apabila proposal pertama diterapkan.

Berdasarkan hasil penelitian We Are Social (2018), masyarakat Indonesia menduduki peringkat ketiga untuk lama waktu yang dihabiskan di media sosial pada 2017. Selain itu, Indonesia dilaporkan memiliki jumlah pengguna Facebook terbanyak keempat di dunia.

Di sisi lain, proposal kedua pun dapat memberikan Indonesia hak pemajakan yang lebih besar. Mempertimbangkan jumlah dan luas pasar yang harus dijangkau, biaya pemasaran yang dikeluarkan perusahaan untuk pasar Indonesia akan relatif lebih besar dari negara-negara lainnya. Proposal ini juga tidak hanya akan berpengaruh kepada perusahaan digital, tetapi juga kepada perusahaan non-digital.

Selain itu, meningkatnya sengketa pajak terkait biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan asing di Indonesia menunjukkan posisi otoritas pajak yang menaruh perhatian besar pada aktivitas pemasaran perusahaan sebagai dasar pemajakan. Mengutip Mukesh Butani (2018), proposal kedua ini merupakan ‘musik’ untuk  negara berkembang.

Kembali ke Indonesia, pemerintah pun dapat mulai lebih aktif dalam memengaruhi proposal yang akan diambil oleh OECD melalui platform BEPS Inclusive Framework mengingat besarnya potensi penerimaan pajak digital.

India menerima pemasukan tambahan sekitar Rp1,3 triliun dari equalisation levy pada periode 2017-2018 (Jha, 2018). Adapun diverted profit tax di Inggris menghasilkan EUR388 juta atau sekitar Rp6 triliun pada periode 2017-2018 (HMRC, 2018). Walaupun jumlah pajak yang akhirnya disetorkan oleh Google tidak dipublikasi, Google diperkirakan memiliki utang pajak sebesar Rp450 miliar untuk tahun 2015 di Indonesia.

Sayangnya, program-program pajak yang diajukan oleh kedua pasangan calon pemimpin Indonesia untuk 5 tahun ke depan sama sekali belum menyentuh pajak digital. Padahal dari sisi politik, pajak digital pun dapat menjadi magnet suara masyarakat. Apabila dikemas dengan baik, pajak digital dapat menarik perhatian pemilih, terutama kaum milenial, dan memberikan citra prorakyat.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.