ANALISIS PAJAK

Menyoal Keterkaitan Image Rights dan Endorsement Atas Pengenaan Pajak

Redaksi DDTCNews
Selasa, 26 Februari 2019 | 14.20 WIB
ddtc-loaderMenyoal Keterkaitan Image Rights dan Endorsement Atas Pengenaan Pajak
DDTC Consulting

INFLUENCER atau orang yang dapat memengaruhi orang lain, bisa dipercaya, serta memiliki pengikut yang banyak di media sosial kini menjadi profesi dengan penghasilan yang cukup menjanjikan. Siapa tidak kenal dengan megabintang sepak bola Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi.

Di media sosial, keduanya menghasilkan jumlah pengikut yang mengalahkan selebritas musik, film, dan olahraga lainnya. Pada 2018 Cristiano Ronaldo memiliki jumlah pengikut instagram sebanyak 133 juta akun, mengalahkan artis Kim Kardashian dan penyanyi Beyonce Knowles (Media Online Hooper HQ, 2018).

Mereka disukai dan dipercaya oleh followers dan audience mereka sehingga apa yang mereka pakai, sampaikan atau lakukan, bisa menginspirasi dan memengaruhi para followers-nya, termasuk untuk mencoba atau membeli sebuah produk.

Fenomena tersebut berpengaruh pada tingginya penghasilan di luar aktivitasnya sebagai olahragawan, seperti melalui sponsorship dan endorsement dari media sosial. Endorsement adalah suatu gimmick marketing melalui media sosial berupa foto dan video dengan memanfaatkan figur yang dianggap menjual dan memiliki citra positif di masyarakat.

Tak heran jika Ronaldo dan Messi mampu menerima penghasilan di atas Rp1 triliun hanya dalam kurun 1 tahun saja. Gelimang harta yang begitu besar dan terkadang jauh di luar nalar ini membuat banyak pihak melupakan secara sengaja atau tidak kewajibannya sebagai warga negara yang taat hukum. Salah satunya adalah masalah pajak.

Tahun 2017, Ronaldo menerima tuduhan Pengadilan Spanyol soal pajak, yaitu menggelapkan pemasukan image rights-nya dari otoritas pajak Spanyol. Hal ini dilakukannya pada 2011 hingga 2014. Sebelumnya, pada 2013, Messi terlebih dahulu diadili oleh otoritas pajak Spanyol terkait dengan kasus yang sama, menggelapkan pajak dari penghasilan image rights.

Image rights ‘dipopulerkan’ oleh David Beckham pada 2002 saat menegosiasikan kontraknya bersama klub sepak bola asal Inggris, Manchester United (Fordyce, 2002). Image rights diartikan sebagai hak citra dari seseorang yang memiliki nama yang menjual dan citra positif untuk dapat menarik perhatian konsumen dan meningkatkan penjualan (Blackshaw, 2005).

Seperti Ronaldo dan Messi, foto dan namanya juga memiliki nilai sama seperti beberapa merek terkenal seperti Nike atau Adidas. Dengan pencitraan ini, seseorang bisa memanfaatkan sisi komersial dari aktivitas endorsement dirinya untuk sebuah keuntungan.

Menurut otoritas pajak Inggris atau Her Majesty's Revenue and Customs, penghasilan dari aktivitas image rights biasanyadisembunyikan dengan cara mengalirkan penghasilan kepada suatu perusahaan di negara tax havens (Wolters Kluwer, 2018).

Tax havens sendiri adalah sebuah tempat atau negara yang berusaha menarik uang dengan menawarkan sejumlah fasilitas yang stabil secara politis untuk membantu individu atau perusahaan dalam mengatasi peraturan atau undang-undang di negara lain (Shaxson, 2011).

Kesalahan utama yang dilakukan oleh kedua megabintang tersebut terletak pada kelalaiannya untuk melaporkan seluruh penghasilan yang diterimanya sebagai pesepak bola dan juga penghasilan di luar sepak bola, misalnya image rights.

Kasus Indonesia
SAAT ini, bisnis endorsement yang dilakukan oleh artis atau selebritas media sosial di tanah air sedang populer. Dari sudut pandang otoritas pajak, aktivitas tersebut bisa dikaitkan dengan timbulnya shadow economy baru.

Sebagai catatan, shadow economy adalah sektor ekonomi yang tidak mampu dijangkau atau dijamin kepatuhannya oleh pemungut pajak. Dengan kata lain, potensi pajak yang gagal didapatkan (Schneider dan Williams, 2013).

Area bisnis endorsement melalui media sosial inilah yang saat ini belum sepenuhnya tersentuh oleh pemerintah. Pajak penghasilan dari bisnis endorsement kemungkinan besar sulit untuk dipajaki, mengingat sifat transaksinya yang sulit dilacak, baik dari segi nominal maupun identitas pemberi penghasilan.

Aktivitas endorsement ini menggunakan model yang berbeda dengan aktivitas promosi konvensional sehingga tantangan yang dihadapi pemerintah adalah sulitnya memperoleh dan mengumpulkan data pembanding yang akan digunakan untuk menguji data yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) wajib pajak.

Dalam kegiatan promosi konvensional yang menggunakan daftar nominatif pemerintah bisa dengan mudah mendapatkan data orang pribadi atau badan usaha. Namun, dalam kegiatan endorsement melalui media sosial, pemerintah akan sulit mengawasi dan mengaturnya hingga menyebabkan banyak endorser, khususnya orang pribadi, tidak melaporkan pendapatannya yang material dari kegiatan endorsement.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada 2013 telah mengeluarkan peraturan mengenai endorsement melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE/62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan atas Transaksi E-commerce.

Untuk menegaskan kembali peraturan tersebut, pada akhir Desember 2018 pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

Pada intinya, kedua ketentuan tersebut memberikan penegasan bahwa perlakuan pajak penghasilan dari aktivitas ekonomi digital sejatinya tunduk terhadap sistem pajak penghasilan yang berlaku secara umum.

Dengan demikian, jika melihat apa yang dilakukan Cristiano Ronaldo dengan kariernya sebagai pesepak bola, setidaknya, ada dua kategori penghasilan yang diterima, yaitu penghasilan utama berupa gaji dan penghasilan lain berupa endorsement terkait dengan image rights.

Penghasilan berupa endorsement terkait dengan image rights pada akhirnya tetap harus dikenakan ketentuan umum perpajakan dan juga pajak penghasilan sebagaimana para pelaku usaha lainnya sesuai dengan prinsip non-diskriminasi (OECD, 2010).

Tujuannya tidak lain untuk mencegah praktik perencanaan pajak yang agresif (aggresive tax planning), penghindaran pajak (tax avoidance), juga penggelapan pajak (tax evasion), hingga potensi shadow economy dari penghasilan berbasis digital.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.