KEGIATAN pinjam meminjam pada grup usaha menjadi sorotan khusus bagi otoritas pajak. Pasalnya, transaksi pinjaman merupakan salah satu transaksi yang dapat digunakan untuk melakukan income shifting. Pertanyaannya, bagaimana cara transaksi pinjaman dapat menjadi skema income shifting?
Dalam transaksi pinjaman, pemberi mengharapkan imbalan dalam bentuk bunga dari investasinya meminjamkan dana. Karena itu, apabila pinjaman terjadi dalam grup usaha, pembayaran bunga yang lebih tinggi dari nilai wajarnya dapat menjadi indikasi income shifting (Kristiaji, 2013).
Namun, hingga kini belum terdapat pedoman umum yang jelas mengenai transaksi keuangan tersebut. Pada Juli 2018, Organisation for Economic Coo-peration and Development (OECD) mengeluarkan Public Discussion Draft BEPS Action 8-10 Financial Transaction.
Dalam discussion draft itu, terdapat hal menarik, yaitu OECD menjelaskan dalam pengujian tingkat bunga pinjaman yang akan dibebankan kepada afiliasi dapat dibandingkan dengan data tingkat bunga yang akan ditetapkan apabila pinjaman tersebut diberikan kepada pihak independen.
OECD mengakui penjelasan tersebut akan menjadi tantangan tersendiri bagi perusahaan. Tantangan yang dihadapi adalah keterbatasan data yang tersedia untuk pengujian dan penentuan tingkat bunga pinjaman.
Sebagai contoh, perusahaan di Indonesia jarang mengungkapkan transaksi dengan afiliasi mereka pada database. Oleh karena itu, perusahaan menjadi sulit untuk menentukan tingkat bunga yang wajar pada transaksi afiliasinya.
Dalam mengadapi tantangan tersebut, beberapa perusahaan menggunakan cara yang instan untuk menentukan tingkat bunga yang wajar. Salah satu cara yang digunakan adalah mencari tingkat bunga acuan melalui penawaran pinjaman dari bank independen.
Penawaran pinjaman tesebut biasa dikenal dengan opini bank (bank opinions, bankabillity opinions, atau bank quotes). Opini bank didapatkan ketika perusahaan ingin mengajukan pinjaman kepada bank independen.
Setelah perusahaan mengajukan permohonan pinjaman, pihak bank independen akan menganalisis perusahaan dan memberikan penawaran tingkat bunga awal kepada perusahaan. Penawaran tingkat bunga awal merupakan bagian dari opini bank.
Penggunaan opini bank dari sisi grup usaha akan sangat memudahkan karena tidak memerlukan analisis mendalam untuk mendapatkan tingkat bunga wajar. Perusahaan cukup mempertimbangkan bunga yang ditawarkan bank lalu menerapkan pada perjanjian pinjaman dengan afiliasinya.
Namun, cara ini tidak tepat apabila dilihat dari prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Berdasarkan discussion draft Paragraf 92 dan 93, opini bank tidak dapat digunakan sebagai tingkat bunga acuan karena tidak berdasarkan transaksi yang telah terjadi (actual transaction).
OECD menjelaskan pemberi pinjaman, dalam hal ini lembaga keuangan independen, akan melakukan uji kelayakan sebelum menyetujui pinjaman. Karena itu, opini bank hanya bersifat penawaran awal dan tidak dapat dijadikan acuan penetapan tingkat bunga pada transaksi pinjaman antarafiliasi.
Indonesia juga menekankan pembuktian kewajaran dan kelaziman usaha harus berdasarkan transaksi yang terjadi. Hal ini dijelaskan Bab II Surat Edaran Direktur Jendral Pajak Nomor SE-50/PJ/2013, fiskus wajib memastikan transaksi pembanding benar terjadi dan sesuai dengan kondisi transaksi afiliasi.
Perdebatan Actual Transaction
PRINSIP pengujian berdasarkan actual transaction pada dasarnya masih dapat diperdebatkan. Beberapa isu yang diperdebatkan adalah masih banyaknya ditemukan specific transactions yang justru menggunakan hypothetical comparables.
Sebagaimana diketahui, hypothetical comparables biasanya digunakan pada saat pengujian hypothetical arm’s length dan merupakan pembanding yang mengacu pada suatu harga/laba hipotesis yang tidak (atau belum) terjadi (Chandler dan Fortier, 2006).
OECD Guidelines 2010 menyatakan tidak terdapat keharusan mencari informasi yang sangat lengkap. Dengan demikian, upaya simulasi atau pendugaan diperbolehkan jika transaksi yang dianalisis sangat kompleks (terintegrasi) dan memiliki keunikan yang sulit ditemukan di pasar terbuka (Russo, 2010).
Karena itu dapat disimpulkan hypothetical comparables digunakan jika tidak ditemukan pembanding dan transaksi tersebut benar-benar kompleks. Apabila hypothetical comparables diterapkan pada pencarian pembanding untuk transaksi pinjaman, penggunaannya menjadi kurang tepat.
Hal ini karena data pencarian pembanding transaksi pinjaman masih bisa ditemukan di pasar terbuka. Data tersebut juga masih dapat disesuaikan agar tingkat kesebandingannya kian tinggi. Selain fokus pada pencarian pembanding, untuk menetapkan tingkat bunga wajar, discussion draft menekankan perusahaan harus mempertimbangkan beberapa faktor.
Pertama, perspektif pemberi pinjaman dan penerima pinjaman. Pada transaksi pinjaman grup usaha, perspektif pemberi dan penerima harus dipertimbangkan. Pertimbangan yang dimaksud lebih pada risiko yang ditanggung masing-masing pihak terkait dengan transaksi pinjaman grup usaha tersebut.
Kedua, kelayakan kredit penerima pinjaman. Saat penentuan bunga, penting mempertimbangan kelayakan kredit penerima pinjaman karena hal itu akan menggambarkan risiko gagal bayar yang berdampak pada tinggi rendahnya tingkat bunga yang dibebankan. OECD juga menekankan perlunya estimasi secara stand-alone agar menggambarkan kelayakan kredit sesuai dengan kondisi perusahaan.
Ketiga, pengaruh dari keanggotaan perusahaan afiliasi dalam grup usaha. Pemberi pinjaman harus memperhatikan pengaruh keanggotaan penerima pinjaman di dalam grup usaha. Apabila peranan penerima pinjaman tersebut kuat, kemungkinan anggota grup usaha lain akan memberikan dukungan jika penerima pinjaman gagal memenuhi kewajibannya. Demikian pula sebaliknya.
Kesimpulannya, opini bank tidak dapat digunakan sebagai dasar penetapan tingkat bunga pinjaman karena ia pembanding yang belum terjadi. Karena itu, penetapan bunga yang dibebankan pada afiliasi harus bunga yang mengacu pada transaksi sebenarnya dan dalam keadaan sebanding (Otero, 2012).
Grup usaha juga disarankan melakukan analisis lebih lanjut sebelum melakukan transaksi pinjaman antarafiliasi. Tujuannya tidak lain agar pada saat penentuan tingkat bunga pinjaman, tingkat bunga yang ditetapkan sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.