RENCANA Aksi BEPS 6 memuat beberapa proposal yang ditujukan untuk menutup celah penyalahgunaan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Proposal tersebut diantaranya adalah ketentuan Principal Purpose Test (PPT) dan Limitation on Benefits (LoB).
PPT merupakan General Anti-Avoidance Rule (GAAR) yang menyasar suatu skema yang tidak sejalan dengan objek dan tujuan dari P3B. Skema tersebut hanya dilakukan untuk mendapatkan manfaat pajak yang tidak dapat dibenarkan (Taboada, 2015). Sementara, ketentuan LoB memperketat kriteria pihak yang berhak menerapkan P3B.
Selain rekomendasi untuk mengubah judul dan pembukaan P3B, melalui Rencana Aksi BEPS 6, OECD juga memberikan tiga opsi yang dapat diikutsertakan dalam P3B. Pertama, adopsi ketentuan PPT. Kedua, ketentuan PPT disertai dengan simplified atau detailed LoB. Ketiga, ketentuan detailed LoB yang dilengkapi dengan mekanisme untuk menghadapi skema conduit.
Sebagaimana Rencana Aksi BEPS lainnya yang memiliki dampak terhadap perubahan P3B, rekomendasi BEPS 6 ini merupakan bagian dari ruang lingkup instrumen multilateral (MLI). Secara khusus, ketentuan perubahan atas pembukaan P3B dan PPT untuk mencegah penyalahgunaan P3B bersifat wajib untuk diadopsi oleh negara-negara penandatangan MLI (Langer, 2018). Ketentuan PPT ini dapat disertai dengan ketentuan LoB yang bersifat opsional.
Indonesia sebagai salah satu negara penandatangan MLI mengambil posisi untuk mengadopsi ketentuan PPT disertai dengan ketentuan simplified LoB. Namun, agar ketentuan ini bisa diterapkan, negara mitra P3B juga harus merupakan penandatangan MLI dan mengadopsi LoB.
Dari 47 P3B dalam daftar Covered Tax Agreement (CTA) Indonesia, hanya India dan Slovakia yang memenuhi kriteria ini. Sebaliknya, apabila negara mitra P3B yang merupakan penandatangan MLI hanya mengadopsi ketentuan PPT maka hanya ketentuan PPT yang akan berlaku antara Indonesia dengan negara mitra dalam masing-masing CTA.
Pengujian Ketentuan PPT dan LoB
LANTAS, bagaimana pengujian ketentuan PPT dan LoB dalam penerapan P3B pasca-BEPS? Pada dasarnya, prosedur penerapan P3B terdiri atas lima tahapan (Darussalam dan Septriadi, 2017). Pertama, menentukan apakah subjek pajak, objek pajak, negara yang diperdebatkan dicakup dalam P3B, serta memastikan apakah ketentuan P3B masih berlaku.
Kedua, memastikan definisi penghasilan yang diperdebatkan. Ketiga, menentukan alokasi hak pemajakan. Keempat, menerapan metode eliminasi pajak berganda. Kelima, menyelesaikan dengan Mutual Agreement Procedure (MAP) apabila masih terdapat sengketa.
Ketentuan PPT berlaku pada seluruh tahapan penerapan P3B karena PPT merupakan ketentuan anti penghindaran pajak yang bersifat umum dan tidak menyasar satu skema tertentu (Elliffe, 2019). Lebih lanjut, penyalahgunaan P3B dapat terjadi pada masing-masing tahapan penerapan P3B, seperti konflik kualifikasi, penentuan alokasi hak pemajakan, dan sebagainya.
Dengan kata lain, pengujian ketentuan PPT dilakukan atas masing-masing tahapan penerapan P3B pasca-BEPS. Apabila ditemukan bahwa suatu skema yang bertentangan dengan ketentuan PPT maka manfaat P3B tidak dapat diterapkan atas skema tersebut.
Sementara itu, pengujian ketentuan LoB dilakukan pada tahapan pertama penerapan P3B sehubungan dengan subjek pajak yang berhak menerima manfaat P3B. Dalam hal ini, Pasal 1, 3, dan 4 P3B memainkan peranan penting untuk menentukan residen yang berhak mendapatkan manfaat P3B.
Tahapan ini kemudian ditambah dengan ketentuan LoB. Ketentuan LoB mencakup apakah residen suatu yurisdiksi mempunyai aktivitas bisnis yang sesungguhnya, mempunyai keterkaitan dengan negara domisili yang mencukupi, dan sebagainya (Pinetz, 2016).
Berdasarkan penjelasan di atas, penentuan pihak yang dapat memanfaatkan fasilitas P3B tidak hanya berdasarkan Pasal 1, 3, dan 4 P3B, tetapi juga harus memenuhi kriteria ‘qualified person’ sesuai dengan ketentuan LoB. Apabila ketentuan LoB tidak terpenuhi maka manfaat P3B tidak dapat diterapkan atas skema tersebut.
Kasus Bank of Scotland
KASUS Bank of Scotland (2006) merupakan salah satu kasus yang relevan dengan penerapan ketentuan PPT dan LoB. Kasus ini melibatkan perusahaan asal Amerika Serikat (AS), Pharmaceutical Inc. Perusahaan menggunakan Britania Raya (UK) sebagai yurisdiksi perantara atas pendapatan dari Prancis ke AS, yang dalam prosesnya mencoba untuk memanfaatkan celah dari ketentuan P3B Prancis dan UK (Jain, 2012).
Pharmaceutical Inc merupakan pemegang saham tunggal Marion SA, Prancis. Pada 1992, Pharmaceutical Inc menjual hak (usufruct) atas saham Marion SA kepada Bank of Scotland selama tiga tahun. Berdasarkan kontrak, Bank of Scotland berhak atas sejumlah dividen yang diterima dari Marion SA selama tiga tahun.
P3B Prancis dan UK mengatur bahwa dividen yang didistribusikan kepada residen UK dikenakan penurunan tarif pajak menjadi 15%. Lebih lanjut, P3B juga memberikan pengembalian atas avoir fiscal (kredit pajak sehubungan dengan dividen). Pharmaceutical Inc merancang skema ini dengan tujuan untuk mendapatkan manfaat atas ketentuan P3B Prancis dan UK.
Pada 1993, Marion SA mendistribusikan dividen kepada Bank of Scotland setelah dikurangi dengan 25% pajak. Bank of Scotland mengajukan permohonan pengembalian dan reimbursement atas kredit pajak berdasarkan P3B Prancis dan UK.
Otoritas pajak Prancis menolak permohonan ini atas dasar bahwa Bank of Scotland bukan merupakan beneficial owner atas dividen. Lebih lanjut, pengadilan pajak Prancis menolak permohonan banding Bank of Scotland dengan alasan yang sama. Majelis hakim berpendapat bahwa satu-satunya tujuan dari adanya skema yang ada adalah untuk mendapatkan manfaat kredit pajak avoir fiscal yang hanya terdapat dalam P3B Prancis dan UK.
Skema di atas dapat dicegah dengan adanya kombinasi ketentuan PPT dan LoB. Namun, bukan berarti ketentuan PPT dan LoB dapat menghilangkan potensi sengketa yang ada. Setidaknya, ketentuan PPT dan LoB mempersempit ruang bagi pelaku usaha untuk memanfaatkan celah demi mendapatkan manfaat yang tidak sesuai dengan objek dan tujuan dari P3B pasca-BEPS. *