Abiyoga Sidhi Wiyanto,
ISTILAH ‘creating dynastic wealth’ menggambarkan betapa kekayaan turun-temurun dari individu ultrakaya relatif bersifat indestructible (Harrington, 2016). Hal ini turut dipengaruhi adanya cara-cara baru, seiring dengan perkembangan zaman, untuk mempertahankan kekayaan yang dimiliki individu superkaya dan keluarganya. Cara yang dimaksud tak terkecuali skema pengelolaan kekayaan melalui family office.
Ide pembentukan family office di Indonesia salah satunya untuk menarik individu ultrakaya agar menempatkan dana atau berinvestasi di dalam negeri. Sayangnya, keberadaan family office tak dapat ‘berbuah manis’ jika investasinya tidak berkontribusi nyata terhadap perekonomian. Terlebih, praktik family office di beberapa negara selama ini umumnya tidak secara langsung berkaitan dengan investasi pada sektor riil.
Namun, insentif pajak sejatinya dapat memainkan peran penting untuk mendorong kegiatan filantropi yang biasanya langsung menyentuh sektor riil. Pasalnya kegiatan filantropi kerap kali dilakukan oleh individu ultrakaya melalui family office. Namun, pada saat ini, kebijakan insentif pajak masih terbatas. Oleh sebab itu, insentif pajak yang lebih luas perlu dipertimbangkan untuk mengakselerasi kegiatan filantropi (Kristiaji, 2024).
Data Hudson Institute tentang Index of Global Phylanthropy and Remittances 2016 menyatakan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia sepakat filantropi adalah kegiatan yang positif dan bernilai. Namun demikian, hal tersebut belum tercermin dalam kebijakan pemerintah, seperti terkait dengan regulasi pajak dan perizinan (Rosdiana, 2019).
Kegiatan filantropi tidak hanya dapat membantu masyarakat yang membutuhkan, tetapi juga dapat berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi melalui investasi yang dilakukan di sektor riil. Sedikitnya, terdapat dua justifikasi perlunya intervensi pemerintah dalam pemberian insentif yang lebih luas atas kegiatan filantropi.
Pertama, keterbatasan penyediaan barang publik. Faktanya, tanggung jawab untuk menghadirkan kesejahteraan secara umum sulit untuk dipenuhi seluruhnya oleh pemerintah. Dengan begitu, pemerintah perlu memberikan insentif kepada kegiatan filantropi untuk meningkatkan penyediaan barang publik ke tingkat yang lebih optimal (OECD, 2020).
Umumnya insentif pajak atas kegiatan filantropi diberikan melalui dua bentuk, yaitu pengecualian pajak penghasilan bagi lembaga filantropi dan pembiayaan dalam pajak atas dana kegiatan filantropi (Kristiaji, 2020).
Kedua, eksternalitas positif kegiatan filantropi. Meskipun tidak menyediakan barang publik yang dimaksud secara langsung, kegiatan filantropi dapat menyediakan barang dan jasa yang menghasilkan eksternalitas positif secara tidak langsung.
Insentif pajak atas kegiatan filantropi dapat mengurangi pajak terutang baik secara langsung maupun tidak langsung. Di negara-negara berkembang, hal ini akan menurunkan biaya produksi barang dan jasa tersebut sehingga dapat mempercepat penyediaan barang publik menuju tingkat optimal (UNIDO, 2008).
Darussalam, Septriadi, dan Kristiaji (2017) menyebutkan bahwa kegiatan filantropi yang sering kali dilakukan oleh entitas superkaya dapat menjadi sumber pendanaan alternatif yang berdampak positif dalam pengentasan persoalan sosial. Oleh sebab itu, perlu adanya insentif pajak guna mendorong pertumbuhan kegiatan filantropi di Indonesia.
INSENTIF pajak untuk kegiatan filantropi dapat secara signifikan berdampak pada keberhasilan family office dengan menyediakan kerangka kerja strategis dan meningkatkan efisiensi pajak. Berikut ini empat manfaat utama dengan diperluasnya insentif pajak bagi kegiatan filantropi.
Pertama, insentif atas kegiatan filantropi dapat diarahkan pada sektor yang meningkatkan kualitas ekonomi dan sosial masyarakat. Hal ini dikarenakan masih banyak sektor-sektor yang minim pendanaan. Beberapa sektor utama antara lain kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, green economy, serta infrastruktur.
Selaras dengan itu, Ahmadsyah dan Novikasari (2024) juga menyebut bahwa kebijakan insentif pajak kedepan perlu diarahkan agar efektif mendorong sektor-sektor yang dapat mendukung transformasi ekonomi secara signifikan.
Kedua, peningkatan partisipasi masyarakat dalam suatu kegiatan tertentu. Perilaku beramal seseorang sangat elastis dan dipengaruhi oleh adanya suatu insentif yang disediakan oleh pemerintah (List, 2011).
Ketiga, peningkatan investasi riil dari kegiatan filantropi ke sektor-sektor tertentu dapat berdampak langsung pada kenaikan daya saing dan pertumbuhan ekonomi. Ketersediaan pendanaan yang berasal dari para donatur secara tidak langsung memiliki multiplier effect yang besar terhadap perekonomian secara umum (Chen, 2015).
Salah satu sektor yang dianggap memiliki multiplier effect besar dan sering kali dijadikan tujuan insentif pajak yaitu pendidikan, khususnya penelitian dan pengembangan (Tillmann, 1989).
Keempat, peningkatan dana kegiatan filantropi akibat adanya insentif pajak memungkinkan terkumpulnya pendanaan publik secara cepat. Jika berkaca pada keterbatasan anggaran pemerintah yang memiliki siklus tersendiri dan cenderung rigid maka dana yang berasal dari filantropi relatif lebih fleksibel dalam penggunaannya.
Oleh karena itu, sebaiknya cakupan dan karakteristik kegiatan filantropi yang mendapatkan insentif nantinya tidak dibatasi baik dari sisi pemberi maupun penerima. Hal ini turut mempertimbangkan preferensi publik yang beragam dalam kegiatan yang bersifat sukarela (Darussalam, Septriadi, dan Kristiaji, 2017).
Kurangnya insentif pajak telah menghambat potensi kegiatan filantropi, terutama yang berpotensi dilakukan melalui family office nantinya. Kendati belum diterapkan, ide pembentukan family office dapat menjadi salah satu diskursus yang mendorong pemberian insentif pajak yang lebih luas bagi kegiatan filantropi.
Dapat disimpulkan, usulan perluasan insentif pajak untuk kegiatan filantropi, khususnya yang berkaitan dengan pembentukan family office perlu menjadi perhatian pemerintah. Namun, hal tersebut tentunya tidak lepas dari berbagai pertimbangan matang dan pendalaman lebih lanjut yang didasarkan pada arah kebijakan utama insentif perpajakan di masa yang akan datang.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang sekaligus menjadi pemenang lomba menulis internal bertajuk Gagasan Pajak dalam Satu Pena DDTC. Lomba ini merupakan bagian dari acara peringatan HUT ke-17 DDTC. (kaw)