DDTC Fiscal Research melakukan studi penggunaan instrumen pajak daerah dalam menghadapi dampak Covid-19 di Indonesia. Dari hasil studinya, pemutihan denda pajak ternyata menjadi kebijakan paling banyak dipakai pemerintah provinsi.
Studi dilakukan melalui pengamatan atas perubahan kebijakan pajak daerah yang ditemui dari berbagai laman resmi Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan media hingga kurun waktu 30 April 2020.
Pada artikel sebelumnya, DDTC Fiskal Research membahas mengenai pola umum relaksasi pajak di pemerintah daerah. Kali ini, pembahasan relaksasi pajak dalam menghadapi Covid-19 difokuskan di tingkat provinsi.
Untuk diketahui terdapat lima jenis pajak daerah di tingkat provinsi antara lain Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB), Pajak Air Permukaan, dan Pajak Rokok.
Dari survei yang dilakukan, hanya 20 dari 34 provinsi yang merilis relaksasi instrumen pajak daerah dalam menghadapi dampak covid-19. Dalam menghadapi covid-19, terdapat 35 instrumen pajak daerah yang dipakai pemerintah provinsi.
Kebijakan paling banyak digunakan berbentuk pemutihan atau penghapusan denda keterlambatan pembayaran. Kebijakan pemutihan dilakukan pada 17 provinsi atau 80% dari total provinsi yang melakukan relaksasi pajak daerah.
Jika ditinjau dari jenis pajak, pemerintah provinsi paling banyak merespons melalui PKB dan BBNKB. Untuk PKB, respons pajak yang paling banyak digunakan di tingkat provinsi adalah pemutihan sanksi.
Begitu juga untuk BBNKB, respons pemerintah provinsi yang paling banyak ditemukan berupa pemutihan denda atau sanksi keterlambatan membayar, kemudian diikuti dengan pembebasan pajak.
Sebagai contoh, pemerintah provinsi (Pemprov) Yogyakarta melakukan kombinasi kebijakan yaitu pemutihan denda PKB hingga 31 Agustus dan pembebasan BBNKB dalam periode tertentu.
Ada lagi, Pemprov Riau melakukan pemutihan PKB atas pajak yang jatuh tempo antara 17 Maret hingga 29 Mei 2020. Pemprov Banten melakukan pemutihan denda PKB dan BBNKB hingga 31 Agustus 2020.
Bukan tanpa sebab, pemerintah provinsi memilih pemutihan sanksi, terutama PKB. Pasalnya, hampir seluruh lapisan masyarakat memiliki kendaraan bermotor sehingga pemutihan sanksi PKB menjadi daya tarik bagi pemilik kendaraan.
Meski begitu, pemutihan PKB dan BBNKB menimbulkan konsekuensi, yaitu potensi menurunnya kemandirian fiskal daerah pada 2020. Hal ini dikarenakan PKB dan BBNKBÂ menjadi sumber utama penerimaan pajak di tingkat provinsi.
Bentuk Respons Pajak Daerah di Tingkat Provinsi
Sumber: diolah DDTC Fiscal Research berdasarkan data dan informasi dari OPD Pemerintah Daerah terkait dan berbagai media, per 30 April 2020.
Selain PKB dan BBNKB, pemerintah provinsi juga melakukan relaksasi pada jenis pajak daerah lainnya. Misal, Pemprov DKI Jakarta yang menghapus denda terhadap sembilan jenis pajak lainnya antara lain Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB).
Lalu, Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2), Bea Perolehan Hak Atas Tanah Bangunan (BPHTB), Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Hotel, Pajak Parkir, Pajak Reklame, dan Pajak Air Tanah. Sebagai informasi, DKI Jakarta adalah satu-satunya pemerintah daerah yang berhak memungut seluruh jenis pajak daerah, baik yang didelegasikan kepada provinsi maupun kabupaten/kota.