TARGET penerimaan pajak terus meningkat signifikan dari tahun ke tahun. APBN 2016 mematok penerimaan pajak Rp1.360 triliun, melompat 350% dari target 10 tahun lalu. Sayangnya, beban pembiayaan negara itu masih ditanggung oleh sebagian kecil orang.
Pada 2014, jumlah wajib pajak (WP) terdaftar hanya 11% dari total jumlah penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut, hanya 58%-nya yang menyampaikan surat pemberitahuan pajak (SPT). Ini menunjukkan pengeluaran negara dibiayai oleh kurang dari 10% dari seluruh penduduk Indonesia.
Rendahnya partisipasi ini menggambarkan permasalahan banyak penumpang gelap (free-rider) dalam pembiayaan pembangunan. Efeknya, karena dana pembangunan hanya berasal dari sebagian kecil penduduk, pemerintah pun akhirnya hanya mampu menyediakan pelayanan publik yang seadanya.
Ironisnya, sebagian besar penduduk yang belum menanggung beban tersebut, belum tentu tidak mampu membayar. Inilah yang menjadi pertanda adanya ketidakseimbangan dalam distribusi beban pajak dan manfaat dari pembayaran pajak.
Padahal, dalam negara demokrasi, hubungan antara negara dan warganya didasarkan pada suatu kontrak pertukaran fiskal (Buchanan, 1976). Artinya, negara tidak hanya dipandang sebagai institusi pemungut pajak, tetapi juga bertanggung jawab menyediakan layanan publik kepada warganya.
Lalu apa kaitan antara kontrak fiskal dengan pengampunan pajak (tax amnesty)? Meski penerapan tax amnesty masih banyak diperdebatkan, ada sisi lain dari kebijakan ini yang menarik untuk didiskusikan, antara lain sebagai sarana pembaharuan kontrak fiskal.
Penumpang Gelap
Tax amnesty sering ditolak karena menyebabkan WP patuh menjadi tidak patuh dan menunjukkan kurangnya kredibilitas pemerintah dalam memberikan efek jera bagi WP tidak patuh. Dalam pandangan ini, tax amnesty mencederai rasa keadilan dan melanggar kontrak fiskal (Marchese, 2014).
Akan tetapi, jika dikembalikan kepada permasalahan para penumpang gelap tadi, kehadiran mereka sebetulnya juga merugikan WP yang patuh, karena free-rider tidak ikut membiayai pembangunan negara, meskipun sebenarnya mereka mampu untuk ikut berkontribusi dan berpartisipasi.
Akibatnya, WP yang patuh akan menanggung sebagian besar beban pembangunan negara, yang hasilnya dinikmati secara bersama-sama dengan free rider tersebut. Hal itulah yang selama ini menjadi problem besar bagi keuangan negara Indonesia saat ini.
Karena itu, dibutuhkan jalan guna mengatasi kebuntuan partisipasi publik sekaligus mengembalikan legitimasi pemerintah di era demokrasi. Dalam konteks inilah, tax amnesty dapat menjadi sarana untuk pembaharuan kontrak fiskal menuju babak baru hubungan antara WP dan otoritas pajak.
Melalui tax amnesty, free-rider digiring untuk ikut menanggung beban pajak di masa mendatang, setelah ia mengikuti tax amnesty. Para free-rider ini tidak boleh dibiarkan melanjutkan perilakunya. Membiarkan mereka berarti menciptakan ketidakadilan bagi mereka yang patuh membayar pajak.
Dalam konteks ini, memberikan kesempatan bagi WP tidak patuh untuk menghapus masa lalu mereka di bidang pajak hingga mereka ke depan dapat berontribusi bagi keuangan negara, merupakan cara yang dapat ditempuh dalam menghadapi perilaku ketidakpatuhan.
Perspektif inilah yang digunakan Mahkamah Agung Jerman saat menjustifikasi tax amnesty sebagai bridge to legality, bagi WP yang tidak patuh untuk menjadi patuh (Malherbe, 2010), sekaligus sebagai upaya memfasilitasi rehabilitasi sosial bagi mereka yang melanggar hukum pajak (Rechberger, 2010).
Kontrak Sosial
Adanya pembaharuan kontrak fiskal ini ditandai oleh adanya suatu kebersamaan atau kontak sosial agar warga negara data berkontribusi secara aktif dalam pembangunan. Kontribusi tersebut diwujudkan dengan membayar pajak secara patuh.
Walau demikian, kontrak sosial itu dapat saja ternodai apabila pemerintah gagal menyediakan atau memberikan sinyalemen upaya pengadaan barang dan layanan publik. Kebersamaan itu juga dapat ternodai jika pemerintah memilih perspektif ‘cops and robbers’ dalam hubungannya dengan WP.
Perspektif tersebut memandang WP sebagai mangsa yang diburu oleh otoritas pajak. Padahal, perilaku ‘jahat’ sebetulnya tidak hanya dilakukan oleh WP, tetapi juga termasuk perilaku otoritas pajak di masa lalu yang mungkin melanggar aturan dan terindikasi koruptif.
Apalagi dalam transisi menuju era kelembagaan otoritas pajak yang baru serta era pertukaran informasi antarnegara, potensi terjadinya ledakan kasus pidana sangat mungkin terjadi. Memang, dari ledakan kasus tersebut, pemerintah dapat memperoleh tambahan penerimaan pajak dan sanksi administrasi.
Namun, langkah tersebut tidaklah bijak. Pemerintah dapat saja kehilangan trust dari publik, apalagi di masa lalu upaya penggelapan atau penghindaran pajak diindikasi juga melibatkan oknum otoritas pajak. Hal itu tentu akan mengurangi legitimasi pemerintah dalam sistem pajak.
Untuk menghapus dosa masa lalu tersebut, maka tax amnesty dapat menjadi jalan keluar menuju babak baru hubungan antara keduanya. Pendekatan cops and robbers itu harus berubah jadi service and client (Krichler, 2009), yang memberikan atmosfer kerja sama yang setara, transparan, tanpa jarak sosial.
Dengan demikian akan timbul kepercayaan di antara mereka yang berimplikasi pada legitimasi sistem pajak, yaitu dalam bentuk dukungan masyarakat kepada pemerintah untuk menatap ke depan, dengan memperbaiki tatanan sistem pajak yang lebih baik dan adil.
Melalui dukungan itu, kontrak fiskal antara negara dan warganya pun dapat diperbaharui. Kelak, masyarakat pun akan berkontribusi dengan membayar pajak secara patuh, sementara negara dapat menyediakan barang dan layanan publik yang berkualitas dan bermanfaat bagi masyarakat.
Akan tetapi, ada satu hal yang perlu diingat, jika pasca-tax amnesty WP meyakini bahwa manfaat dari uang pajak yang mereka bayar tidak mereka rasakan, besar kemungkinan mereka bisa kembali menjadi penghindar pajak. Di sinilah, reputasi pemerintah akan dipertaruhkan.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.