Predi Sinaga,
SELAMA 2012-2017 tercatat peningkatan emisi karbondioksida sebesar 18% secara nasional. Angka ini disumbang oleh konsumsi bahan bakar energi oleh 4 sektor utama, yaitu pembangkit listrik, Industri, rumah tangga, dan kendaraan bermotor.
Sektor ini menyumbang masing-masing 36%, 31%, 6%, dan 27% terhadap total emisi karbon pada 2017 (Dunne, 2019). Kondisi ini sangat genting karena biaya sosial dan eksternalitas negatif yang ditimbulkan cukup besar. Ini belum menghitung kontribusi gas rumah kaca dan kebakaran hutan.
Pemerintah sejak awal sudah memberikan perhatian untuk mengendalikan emisi ini, khususnya untuk kendaraan bermotor. Pemerintah menganggap emisi karbon yang ditimbulkan tidak terlalu sulit untuk dikendalikan mengingat kendaraan bermotor merupakan kebutuhan tersier masyarakat.
Namun, entah mengapa kebijakan yang dimaksud tidak pernah terlaksana bahkan tidak muncul dalam program legislasi nasional. Barulah pada 2020, Menteri Keuangan dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR mengusulkan cukai terhadap emisi kendaraan bermotor berbahan bakar fosil.
Tujuan utama kebijakan ini untuk meredam polusi udara yang sebagian besar dihasilkan gas buang kendaraan bermotor. Jika diasumsikan tarif cukai menggunakan skema yang sama dengan pengenaan PPnBM, maka akan terdapat potensi penerimaan cukai Rp15,7 triliun (Bardan, 2020).
Lalu, jika rencana pengenaan cukai akan mengadopsi atau bahkan mirip dengan beleid PPnBM kendaraan bermotor, mengapa PPnBM tidak dimaksimalkan untuk menekan jumlah emisi? Apa pertimbangannya?.
Urgensi Pengenaan Cukai
KASUBDIT Humas Bea Cukai Deni Surjantoro dalam paparannya mengatakan seandainya cukai atas emisi sudah disahkan, maka pada waktu yang bersamaan Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 2019 tentang PPnBM atas kendaraan bermotor tidak akan berlaku lagi (Kurniati, 2020).
Cukai lebih realistis dan optimal menekan emisi dibandingkan dengan PPnBM karena beberapa faktor. Pertama, emisi karbon kendaraan bermotor merupakan eksternalitas atas konsumsi, yang dapat berlangsung secara kontinu sampai dengan batas waktu yang tidak diketahui.
PPnBM tidak efisien menekan emisi karena hanya dikenakan satu kali pada awal pembelian. Cukai lebih fleksibel karena dapat dikenakan tahunan dengan pertimbangan kendaraan rutin digunakan dan menyumbang emisi. Inggris menerapkan kebijakan ini dengan motif yang sama.
Kedua, cukai emisi memungkinkan industri kendaraan bermotor dan pemerintah memiliki kedudukan yang sama. Ketika pemerintah menetapkan standar maksimal emisi mesin kendaraan, pemerintah akan memiliki dasar pengenaan untuk menetapkan tarif cukai.
Di sisi lain, industri juga akan mendapatkan kepastian threshold yang harus dipenuhi agar kendaraan yang diproduksi bebas dari pengenaan cukai. Kebijakan ini dapat diperkuat dengan pemberian insentif kepada industri yang mampu memproduksi mesin di bawah standar yang ditentukan.
Ketiga, emisi karbon sejalan dengan konsensus global karena banyak negara menerapkan cukai untuk mengendalikan konsumsi yang menimbulkan biaya sosial, seperti rokok, minuman keras, minuman berpemanis, dan plastik. Objek yang identik harus dikendalikan dengan beleid yang identik.
Keempat, PPnBM secara filosofis lahir akibat dampak regresivitas PPN, sehingga sejak awal dapat dipastikan instrumen PPnBm bukan kebijakan yang menitikberatkan pada pengendalian konsumsi, tetapi lebih pada aspek keadilan pemajakan.
Skema Pengenaan
KEPASTIAN skema pengenaan cukai belum dapat ditentukan secara pasti mengingat kebijakan ini masih dalam tahap pembahasan oleh Kementerian keuangan. Namun, ada 2 (dua) skema yang mungkin menjadi opsi ketika nantinya cukai emisi ini sudah resmi diterapkan.
Pertama, pengenaan cukai saat pembelian motor baru. Skema ini secara langsung identik dengan pengenaan cukai 1 kali. Kebijakan ini bisa disebut baik karena selain mengedepankan efisiensi pemungutan, kebijakan ini tidak mengharuskan otoritas melakukan pengawasan secara terus menerus.
Akan tetapi, pola tersebut dengan sendirinya ini akan menjadikan kebijakan ini tidak berbeda dengan kebijakan PPnBM yang sebelumnya. Juga ketika skema ini diterapkan, maka fungsi cukai sebagai pengendali emisi akan terbatas dan tidak optimal.
Kedua, pengenaan dilakukan secara periodik tahunan bagi pemilik kendaraan. Skema ini terlihat lebih sempurna dari sisi pengendalian dari skema sebelumnya. Skema ini juga memungkinkan otoritas menggaet penerimaan yang cukup banyak untuk dipergunakan pada hal produktif lain.
Namun, ada beberapa masalah seperti inequality terhadap pengendara karena setiap pengendara memiliki jarak perjalanan berbeda. Selain itu, ada kesulitan seperti penetapan wilayah administrasi cukai dan memastikan pemilik kendaraan membayar mengingat loophole avoidance yang tinggi.
Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) dalam pernyataan resmi mendukung penetapan cukai emisi karbon pada kendaraan bermotor untuk menggantikan PPnBM. Alasannya harga jual kendaraan berkurang seiring hilangnya PPnBM dan kuantitas penjualan meningkat.
Di sisi lain, Gaikindo juga berharap skema cukai ini dapat memberikan benefit seperti insentif bagi industri agar tujuan penekanan jumlah emisi dapat berjalan dua arah, khususnya dalam menghadirkan kendaraan rendah emisi (low carbon emission vehicle).
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.