PERSPEKTIF

Konsep PPh Final dan Pro-Kontra Penerapannya

Redaksi DDTCNews
Sabtu, 30 Mei 2020 | 14.47 WIB
ddtc-loaderKonsep PPh Final dan Pro-Kontra Penerapannya
Managing Partner DDTC

ISTILAH PPh final bukanlah istilah yang asing di masyarakat wajib pajak. Dalam berbagai literatur pajak berbahasa Inggris, istilah yang digunakan untuk merujuk pada PPh final, antara lain final tax, final tax liability, atau final withholding tax. Sementara dalam UU PPh di Indonesia, istilah PPh final identik dengan penerapan Pasal 4 ayat (2) walaupun secara eksplisit penerapannya juga tersebar ke dalam beberapa pasal lainnya.

Meskipun tergolong sebagai istilah yang familier, sayangnya tidak banyak yang mengetahui PPh final secara konseptual. Sebagian pihak menganggap ini adalah suatu jenis pajak, sedangkan sebagian lainnya berpendapat bahwa PPh final hanya sekadar salah satu mekanisme pemungutan pajak.

Begitu pula dengan penerapannya. Pertanyaan, seperti apa tujuan atau alasan suatu negara memilih menerapkan PPh final, tidak sering dibahas dalam literatur perpajakan, baik dalam buku, artikel, maupun jurnal-jurnal.

Merespons fenomena di atas, tulisan berikut menjelaskan secara komprehensif mengenai konsep PPh final serta pro-kontra penerapannya.

Konsep PPh Final

Sejatinya, PPh final bukanlah suatu jenis pajak tertentu layaknya PPh, PPN, atau PPnBM. Ini sebagaimana merujuk pada penjelasan dalam Government Finance Statistics Manual yang membahas enam kategori umum mengenai pungutan pajak (IMF, 2014). Dalam pembahasan tersebut, terminologi PPh final tidak ditemukan di dalamnya. Lantas, apa itu sebenarnya PPh final berdasarkan konsep dan definisinya?

Berdasarkan penelusuran pada tataran teoritis, konsep PPh final tidak dapat ditemukan secara eksplisit dalam berbagai literatur. Menariknya, meskipun pembahasan tentang konsep dasarnya terbilang minim, implementasi PPh final kerap bersinggungan dengan konsep mengenai sistem pajak lainnya. Setidaknya, terdapat dua sistem pajak yang memiliki keterhubungan dengan implementasi PPh final.

Pertama, sistem schedular taxation atau sistem pengenaan pajak terpisah. Negara yang menerapkan sistem ini akan mengkategorikan penghasilan berdasarkan jenis atau sumbernya dan menghitung pajak secara terpisah untuk setiap kategori penghasilan, baik ketentuan penghitungannya maupun tarif yang digunakan (Ordower, 2014).

Umumnya, penghasilan yang dikenakan berdasarkan schedular taxation dilakukan secara final. Alasannya, penerapan PPh final dalam sistem ini dapat memastikan pengenaan pajak atas suatu penghasilan benar-benar dilakukan secara “terpisah” hingga akhir.

Kedua, sistem dual income tax. Di negara-negara yang menganut sistem ini, seperti Swedia, Denmark, Finlandia, dan Norwegia, perlakuan pajak antara penghasilan dari modal (kapital) dengan penghasilan dari pekerjaan (labor) dipisahkan (Genser dan Dirk Schindler, 2007).

Pemisahan ini menyebabkan pengenaan pajak atas penghasilan modal tidak boleh digabungkan bersama penghasilan yang diperhitungkan dengan rezim umum. Oleh karena itu, untuk menjamin pemisahan ini, penghasilan modal umumnya dikenakan PPh final dengan skema withholding tax (Randelovic, 2008).

Sementara itu, terkait definisi, hanya terdapat dua lembaga resmi yang memberikan definisi tentang pajak final, yaitu Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dan International Bureau of Fiscal Documentation (IBFD).

Dari definisi yang diajukan kedua lembaga tersebut, dapat disimpulkan beberapa poin mengenai PPh final (Kristiaji dan Mukarromah, 2020). Pertama, PPh final berkaitan erat dengan mekanisme withholding tax. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika dalam buku-buku atau jurnal berbahasa Inggris, istilah PPh final yang sering dijumpai adalah final withholding tax.

Kedua, PPh final mencerminkan adanya pemisahan perlakuan pajak atas beberapa jenis penghasilan tertentu. Sederhananya, penerapan PPh final menyebabkan penghitungan pajak atas suatu penghasilan tidak digabungkan dengan penghasilan lain dan dikenakan dengan tarif pajak yang berbeda.

Ketiga, PPh final merepresentasikan nilai akhir sehingga PPh final yang telah dibayar tidak dapat dikreditkan atau dikurangkan dari total pajak penghasilan terutang pada akhir tahun pajak.  

Pemaparan di atas memberikan kesimpulan bahwa PPh final “hanya” salah satu cara pengenaan pajak dalam sistem PPh yang memiliki ciri khusus. Yaitu, penerapannya menyebabkan pemisahan perlakuan pajak atas penghasilan tertentu serta kewajiban perpajakan terkait pengenaannya “selesai” seketika pajak tersebut dibayarkan.

Akibatnya, penghasilan yang dikenakan PPh final tidak akan digabung dan dihitung lagi dalam SPT PPh Tahunan untuk dikenakan tarif umum bersama-sama dengan penghasilan lainnya. Begitu pula dengan PPh yang sudah dipotong atau dibayar tersebut juga bukan merupakan kredit pajak di SPT PPh Tahunan.

Tujuan dan Kritik

Pada dasarnya, penjelasan yang memadai tentang justifikasi dari penerapan PPh final belum tersedia (Kristiaji dan Mukarromah, 2020). Namun, jika ditelisik dari tujuannya, sifat pengenaannya yang dinilai sederhana menyebabkan PPh final digunakan sebagai bagian dari upaya pemberian kemudahan administratif bagi wajib pajak yang mampu menekan besarnya biaya kepatuhan pajak. Tidak mengherankan jika skema ini menjadi bagian tidak terpisahkan dari dua terobosan kebijakan untuk meningkatkan kepatuhan, yaitu presumptive tax dan mekanisme withholding tax.  

Dalam presumptive tax, misalnya. Penerapan kebijakan ini secara final bertujuan agar prosedur pengenaan pajak dapat berjalan sederhana (Taube dan Tadesse, 1996). Selain itu, berdasarkan Rajaraman (1995), PPh final dapat menjadi pelengkap yang berguna dalam upaya memaksimalkan produktivitas penerimaan dari segi administrasi. Itulah sebabnya beberapa negara berkembang, seperti Pakistan (Memon, 2010) dan Indonesia, memilih menerapkan presumptive tax secara final untuk memajaki sektor UMKM-nya.

Sementara itu, dalam mekanisme withholding tax, PPh final umumnya digunakan sebagai cara untuk mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh subjek pajak luar negeri (SPLN). Pengenaannya yang mudah dan sederhana secara administrasi dianggap sesuai untuk memajaki SPLN yang memiliki karakteristik berbeda dengan subjek pajak dalam negeri (SPDN).

Selain itu, PPh final dengan skema withholding tax juga dianggap efektif dalam meningkatkan penerimaan negara (Vorssler dan McKee, 2015). Skema ini juga dapat membantu pemerintah dalam pengelolaan anggaran karena cash flow yang masuk ke pemerintah lebih cepat diterima (OECD, 2009).

Terlepas dari tujuannya yang “mulia”, penerapan PPh final bukan tanpa kritik. Sekurang-kurangnya, ada tiga isu yang kerap mewarnai perjalanan dari implementasi PPh final di suatu negara. Pertama, pemungutan pajak secara final ini dianggap “menyampingkan” asas pajak yang ideal, terutama aspek keadilan (equality) dan kemampuan membayar (ability to pay) yang seharusnya diterapkan dalam PPh.

Kedua, PPh final juga dianggap menyalahi “roh” PPh sebagai pajak yang bersifat subjektif karena lebih memperhatikan jenis “objek penghasilan” dibandingkan dengan subjek pajaknya. Ketiga, mengingat PPh final yang merupakan bagian sistem pemotongan pajak oleh pihak ketiga (withholding tax), pengenaan PPh final juga dapat menimbulkan beban administrasi bagi wajib pajak yang diberi kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak (Vitez, 1992).

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
mona
baru saja
Jadi.. apakah ada sistem pemungutan pajak yg lebih baik untuk menggantikan sistem PPh Final?