SALAH satu topik terkait dengan pajak pertambahan nilai (PPN) yang menarik untuk diperbincangkan adalah apakah value added tax (VAT), atau yang dikenal di Indonesia sebagai PPN, dan goods and services tax (GST) merupakan dua jenis pajak yang berbeda?
Beberapa menyatakan VAT dan GST adalah dua jenis pajak yang berbeda, sedangkan ada pula yang berpendapat bahwa keduanya adalah jenis pajak yang sama dan hanya berbeda penamaan. Lantas, manakah yang benar?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu diketahui terlebih dahulu pengertian PPN secara konseptual. PPN merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi barang atau jasa kena pajak yang bersifat umum (OECD, 2014).
Kata umum inilah yang membedakan PPN dengan jenis pajak konsumsi lain yang bersifat spesifik, seperti excise (cukai) dan bea masuk. Kata konsumsi, seperti dinyatakan oleh Ad von Doesum dan Gert-Jan van Norden (2011), merujuk pada konsumsi pribadi (private consumption), bukan konsumsi produktif (productive consumption).
Jadi, PPN ditujukan untuk mengenakan pajak atas konsumsi pribadi yang dilakukan oleh konsumen akhir (penanggung beban pajak). Adapun mekanisme pengenaannya melalui pemungutan oleh pihak lain yang ditunjuk oleh undang-undang.
Pihak lain tersebut adalah pengusaha kena pajak (taxable person), yang dalam konteks Indonesia disebut sebagai PKP. Dengan adanya mekanisme inilah PPN disebut sebagai pajak tidak langsung (indirect tax).
Pemungutan PPN dilakukan oleh PKP atas setiap penyerahan barang dan jasa di semua proses tahapan produksi dan distribusi. PPN yang dipungut oleh PKP terkait dengan penyerahan barang dan jasa disebut sebagai pajak keluaran (PK).
Dalam rangka menjalankan kegiatan usahanya, PKP tentu melakukan pembelian barang dan jasa yang dipungut PPN oleh PKP lain dalam tahapan produksi dan distribusi sebelumnya. PPN yang dipungut atas perolehan barang dan jasa tersebut disebut sebagai pajak masukan (PM).
Proses di atas menunjukkan PPN dipungut oleh PKP atas transaksi penyerahan barang dan jasa. Oleh karena itu, PPN juga disebut sebagai pajak atas transaksi (Thuronyi, 2013).
Untuk memastikan PPN dikenakan pada konsumen akhir, PKP yang diberikan kewajiban untuk memungut PPN atas penyerahan barang dan jasa juga diberikan hak untuk mengkreditkan PPN yang dibayarkannya atas perolehan barang dan jasa yang digunakan dalam rangka menjalankan kegiatan usaha.
Hak untuk dapat mengkreditkan inilah yang menjamin PKP bukan sebagai pihak yang menanggung beban PPN. Inilah yang dimaksud dengan netralitas dalam konsep PPN, yaitu PKP hanya menyetorkan selisih lebih PK terhadap PM.
Selisih lebih inilah yang dimaksudkan dengan pertambahan nilai yang akhirnya dijadikan nama sebagai pajak pertambahan nilai.
Dari uraian di atas, juga dapat disimpulkan adanya pertambahan nilai bukan merupakan syarat yang menentukan suatu penyerahan barang dan jasa dikenakan PPN atau tidak. Syarat agar suatu penyerahan barang dan jasa dikenakan PPN, menurut Pato dan Marques (2014), harus memenuhi lima syarat kumulatif sebagai berikut.
Pertama, PPN dikenakan atas transaksi penyerahan, baik penyerahan barang maupun jasa, yang masuk dalam ruang lingkup penyerahan yang dikenakan PPN. Kedua, penyerahan tersebut harus memiliki “nilai” (for consideration). Ketiga, penyerahan harus dilakukan di dalam wilayah teritorial dari negara yang bersangkutan (within the territory).
Keempat, penyerahan tersebut harus dilakukan oleh PKP (by a taxable person) tanpa melihat apakah penyerahan tersebut akan laba atau rugi (Aleksandra Bal, 2013). Kelima, PKP harus melakukan kegiatan penyerahan tersebut dalam rangka menjalankan kegiatan usaha (acting as such).
Dalam hal syarat kumulatif di atas tidak terpenuhi maka penyerahan tersebut berada di luar ruang lingkup PPN (outside the VAT scope).
Lalu, bagaimana dengan konsep GST? Dari seluruh literatur dan pernyataan ahli pajak, PPN dan GST sebenarnya merupakan jenis pajak yang sama, tetapi dengan penamaan yang berbeda. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh OECD bahwa istilah PPN dan GST merujuk pada satu jenis pajak yang sama (OECD, 2017).
Oleh karena merupakan jenis pajak yang sama, dapat disimpulkan konsep dan mekanisme pengenaan GST adalah sama dengan PPN. Dengan demikian, penggunaan istilah PPN yang merepresentasikan pajak atas konsumsi barang dan jasa yang bersifat umum juga dapat dipertukarkan dengan istilah GST.
Penggunaan istilah GST sebagai pajak atas konsumsi yang bersifat umum telah dilakukan oleh beberapa negara di dunia. Sebut saja Singapura, Australia, dan Selandia Baru.
Sementara itu, istilah PPN banyak digunakan oleh negara-negara di Eropa dan juga di Indonesia. Penamaan yang berbeda bukan didasari oleh adanya perbedaan konsep dan mekanisme pengenaan di antara keduanya. Namun, lebih kepada ‘preferensi’ dari masing-masing negara.
Munculnya istilah GST sebagai nama lain dari PPN didasari oleh alasan bahwa pajak ini dikenakan atas dasar penyerahan (supply), baik penyerahan barang maupun jasa. Sementara itu, penggunaan istilah PPN disebabkan karena pajak ini merupakan pajak yang disetor oleh PKP atas atas nilai tambah dari penyerahan barang dan jasa dalam setiap tahapan produksi dan distribusi (Chan Quan Min, 2015).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan istilah PPN dan GST merujuk pada satu jenis pajak yang sama dan tidak ada perbedaan di antara keduanya. Tiap negara bebas memilih istilah mana yang dirasa cocok untuk merepresentasikan pajak atas konsumsi barang dan jasa yang bersifat umum yang diterapkan di negaranya masing-masing.