Partner DDTC B. Bawono Kristiaji bersama Pakar Pajak Prof. Roy Rohatgi di International Taxation Conference 2016, Mumbai, India, 1-3 Desember 2016. (Foto: DDTCNews)
PADA 1 hingga 3 Desember 2016, Foundation for International Taxation (FIT) India bekerja sama dengan International Bureau Fiscal Documentation (IBFD), mengadakan International Taxation Conference dengan tema ‘BEPS and Beyond BEPS: A Year Later’. Dari Indonesia, DDTC yang diwakili B. Bawono Kristiaji menjadi salah satu pembicara di konferensi tersebut. Berikut laporannya:
CEMAS. Itulah kata yang banyak terucap dari seluruh panelis yang hadir dalam sesi tentang sengketa pajak dan upaya penyelesaiannya di tingkat domestik maupun global. Kecemasan ini tidak terlepas dari situasi global pasca Program Anti-BEPS yang ditengarai penuh ketidakpastian.
Perilaku pemerintah maupun wajib pajak, khususnya perusahaan multinasional, akan saling menyesuaikan dengan ‘pola permainan’ baru. Interaksi antarnegara, antara negara dengan perusahaan multinasional, dan antarperusahaan multinasional akan menuju ke keseimbangan baru.
Namun, sebelum mencapai titik ekuilibrium baru tersebut, isu sengketa pun akan mewarnai. Pernyataan pembuka yang disampaikan oleh Mukesh Butani dan Jeffrey Owens tersebut agaknya cukup beralasan.
Dunia yang semakin transparan memungkinkan otoritas pajak untuk melakukan penilaian risiko yang lebih ketat. Perubahan-perubahan regulasi akan menimbulkan interpretasi baru, apalagi belum tentu seluruh negara mengikuti rekomendasi Program Anti-BEPS dan justru membuat aksi sepihak.
Sengketa pajak juga kian memiliki efek menular karena adanya forum-forum yang beranggotakan otoritas pajak di berbagai negara di mana mereka bisa saling bertukar cerita dan pengalaman.
Singkatnya, sengketa pajak di suatu negara bisa dijadikan inspirasi di negara lain. Tidak hanya dari sisi jumlah, pokok sengketa juga diperkirakan semakin kompleks karena adanya perubahan skema perencanaan pajak pasca Program Anti-BEPS.
Penyelesaian Sengketa
Dalam konteks sengketa pajak lintas yurisdiksi, harus diakui bahwa upaya penyelesaiannya belum sedemikian efektif. Akibatnya, pemajakan berganda belum sepenuhnya berhasil dihilangkan. Pada isu tersebut, menarik untuk mencermati langkah yang diambil oleh tiga organisasi yang berbeda.
Pertama, Organization of Economic Cooperation and Development (OECD). Melalui Rencana Aksi 14, OECD merekomendasikan 28 rangkaian tindakan baik yang bersifat standar minimum maupun yang bersifat best practice. Tujuannya agar proses penyelesaian sengketa melalui Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure/MAP) dan arbitrase dapat berjalan dengan efektif.
Saat ini, posisi penyelesaian melalui arbitrase masih belum jelas dan seakan sebagai jalan keluar dari kebuntuan proses MAP saja. Melalui Aksi 14, arbitrase akan menjadi salah satu cara penyelesaian sengketa yang mengikat.
Berbeda dengan OECD, Uni Eropa (European Union/EU) justru telah merampungkan proposal Directive terkait mekanisme penyelesaian sengketa terkait pemajakan berganda pada 25 Oktober 2016 lalu.
Mekanisme tersebut mengatur bahwa dalam konteks terjadi kebuntuan baik pada pengadilan domestik maupun MAP, sengketa akan diselesaikan dengan penunjukan Komisi Penasihat (Advisory Commission) oleh pejabat otoritas pajak yang berwenang dari negara anggota EU yang bersengketa.
Komisi Penasihat tersebut kemudian akan memberikan opini final tentang bagaimana cara mengeliminasi pemajakan berganda kepada masing-masing otoritas yang bersengketa untuk dijadikan pertimbangan paling lama 6 bulan setelah penunjukkan.
Melihat Perspektif Negara Berkembang
Di sisi lain, PBB sebagai pihak yang kerap menyuarakan negara berkembang dalam perpajakan internasional, mengambil jalan yang sedikit berbeda.
PBB justru sedikit enggan atas adanya penyelesaian sengketa melalui arbitrase, atau kalaupun harus maka perlu diimbangi dengan opsi atau alternatif penyelesaian sengketa lainnya.
India sudah mengambil posisi jelas untuk tidak berkomitmen dalam implementasi mandatory binding arbitration. Banyak negara berkembang juga berada di pihak yang sama dengan India.
Hal ini dikarenakan suatu ‘ketakutan’ dari negara berkembang karena minimnya pengalaman dan kemampuan dalam praktik arbitrase jika dibandingkan dengan negara maju.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.