Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo 2019-2024. (Foto: Instagram Presiden Jokowi)
PELAKU pasar memberi sinyal negatif atas pengenalan menteri kabinet oleh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kompak memerah pada Rabu (23/10/2019).
IHSG melemah 1,08 poin atau 0,02% ke posisi 6.224,42 pada awal perdagangan, dengan posisi jual bersih asing Rp121 miliar. Sementara itu, rupiah terdepresiasi 12 poin atau 0,9% ke level Rp 14.052 per dolar AS dibandingkan dengan sesi penutupan sebelumnya.
Memang, kinerja IHSG senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang berada pada zona merah. Namun, hal itu sekaligus berarti, pelaku pasar dingin saja merespons pengumuman menteri kabinet. Dengan kata lain, pasar tidak terlalu optimistis dengan Kabinet Indonesia Maju.
Kekecewaan pasar mungkin bisa dipahami. Susunan menteri bidang ekonomi kurang meyakinkan. Menko Perekonomian diisi oleh Ketua Umum Partai Golkar, begitupun Menteri PPN/Kepala Bappenas yang diisi politisi. Juga Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian, Menteri Pertanian, serta Menteri Kelautan dan Perikanan.
Dari 34 menteri yang diperkenalkan Presiden Jokowi Rabu pagi itu, setengah di antaranya adalah politisi, 5 pensiunan tentara, dan 1 polisi aktif. Beberapa di antaranya bahkan telah dikaitkan dengan kasus-kasus yang sedang diselidiki Komisi Pemberantasan Korupsi.
Partai Gerindra secara mengejutkan masuk kabinet. Dengan masuknya Gerindra, berarti tersisa 3 partai politik saja yang ‘mendapat kesempatan’ untuk menjadi oposisi, yaitu Partai Keadilan Sejahtera, Partai Demokrat, dan Partai Amanat Nasional. Sebuah postur yang lemah untuk konsolidasi demokrasi.
Lebih mengejutkan lagi, seorang wirausahawan muda lulusan Harvard, pendiri salah satu unicorn di negeri ini, mendapatkan posisi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Warga berharap orang yang ditaruh di bidang yang kompleks ini adalah orang yang telah lama terlibat di sana.
Begitu pula penunjukan mantan Wakil Panglima TNI sebagai Menteri Agama. Meski bukan tanpa preseden, hal ini menandakan niat Presiden untuk meningkatkan perjuangan melawan radikalisme agama, yang dikhawatirkan dapat berubah menjadi tindakan keras terhadap para pengkritiknya.
Demikian pula mantan Kapolri yang ditunjuk sebagai Menteri Dalam Negeri. Ia diperintahkan untuk memberikan kepastian hukum, khususnya di daerah tujuan investasi. Orang membaca, pendekatan keamanan akan lebih dikedepankan pemerintah pusat ketika berurusan dengan pemerintah daerah.
Presiden terlihat ingin mengakomodasi banyak kepentingan partai politik yang mendukungnya. Dengan demikian, diharapkan timbul stabilitas. Namun, sikap akomodatif itu bukannya tanpa risiko. Koalisi besar tak pernah menjamin stabilitas politik. Pemerintahan yang lalu sudah membuktikannya.
Memang, Presiden memiliki hak prerogatif untuk mengangkat atau memberhentikan pembantunya. Bisa jadi, di tengah jalan nanti akan ada resafel. Akan tetapi, demokrasi memungkinkan kita hari ini mempertanyakan apa dan bagaimana pilihan Presiden itu.
Mungkin baik kita memberikan para menteri tersebut kesempatan untuk menunjukkan kapasitasnya. Namun, pada sisi yang lain, kita juga cemas. Jangan-jangan, di tengah ancaman tekanan ekonomi ini, sinyal negatif yang pasar berikan itu akan berlangsung lebih lama. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.