Ilustrasi (Foto: republicworld.com)
SITUASI perekonomian di tengah mewabahnya pandemi Corona (Covid-19) akhir-akhir ini sungguh menyesakkan. Federal Reserves pada Minggu (15/3/2020) sekoyong-konyong kembali memangkas suku bunganya 100 basis poin, melanjutkan pemangkasan Selasa (5/3/2020) 50 basis poin.
Dengan pemangkasan terbesar sejak Desember 2008 itu, suku bunga The Fed yang jadi acuan global kini tinggal 0-0,25%, terendah sejak 2015. Pada saat yang sama, The Fed juga mengaktifkan kembali program quantitative easing senilai US$700 miliar, program yang telah berhenti pada Oktober 2014.
Pemangkasan tersebut dilakukan untuk melindungi perekonomian dari dampak negatif pandemi Corona. “Dampak penyebaran virus Corona akan membebani aktivitas ekonomi dalam jangka pendek sehingga menimbulkan risiko terhadap prospek ke depan” ungkap keterangan tertulis The Fed.
Pelonggaran moneter yang mendadak ini sontak menggerogoti nilai tukar dolar dan nilai tukar rata-rata negara emerging market lainnya. Setelah pemangkasan itu, investor asing ramai-ramai melepas portofolionya di emerging market dan mengubahnya ke aset yang lebih aman seperti obligasi AS.
Di Jakarta, tekanan tersebut mengalahkan kabar baik dari pembalikan surplus transaksi perdagangan Februari dari 3 bulan sebelumnya defisit. Akibatnya, rupiah terdepresiasi hingga tembus Rp15.000 per dolar AS, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 29% selama tahun berjalan.
Hingga Selasa (17/3/2020), terdapat 183.304 orang di 163 negara yang terkena virus Corona. Dari jumlah tersebut, 7.166 dinyatakan meninggal, dan 79.731 di antaranya sembuh. Di Indonesia sendiri, ada 172 orang yang terkena virus Corona, 5 dinyatakan meninggal dan 9 yang lain sembuh.
Memang, di berbagai negara pandemi itu telah sedemikian rupa menghantam perekonomian. Untuk mencegah semakin banyaknya jatuh korban, beberapa negara telah me-lockdown negaranya. Wuhan (China), Italia, Irlandia, Denmark, Spanyol, Prancis, Filipina, Malaysia, semua memutuskan lockdown.
Lalu, apakah Indonesia perlu mengikuti jejak negara-negara tersebut dengan melakukan lockdown? Di sinilah persoalannya. Beberapa hari terakhir ramai silang pendapat di berbagai media, tentang positif dan negatifnya melakukan lockdown. Ada yang pro, dan ada yang kontra.
Secara tidak langsung, Indonesia terutama di Jakarta, faktanya sudah menerapkan semi lockdown. Sejumlah kantor pemerintah atau swasta, juga sekolah, sudah tutup karena pekerjaan dan kegiatan belajar dilakukan dari rumah. Lalu lintas di jalan sepi, mal dan pasar sepi, tempat wisata juga tutup.
Memang, nyaris seluruh kegiatan ekonomi terpengaruh pandemi ini. Pegawai Ditjen Pajak hanya 20% yang berkantor sampai 5 April 2020, sisanya bekerja dari rumah. Pemeriksaan, pengawasan wilayah, dan penyuluhan langsung semua dihentikan. Pengadilan Pajak juga tutup sampai 31 Maret 2020.
Situasi isolasi terbatas atau semi lockdown seperti ini tentu buruk untuk perekonomian. Apalagi bila diterapkan lockdown, yang berarti isolasi menyeluruh, misalnya dengan melarang orang bepergian ke luar kota, atau melarang orang menaiki moda transportasi antarkota.
Di sisi lain, dominasi sektor perekonomian informal masih sangat besar di Indonesia. Mereka inilah, para tukang bakso, tukang jahit keliling, tukang ojek online, tukang somay keliling, dan seterusnya, yang akan mengalami kerugian paling besar apabila diterapkan lockdown.
Karena itu, bagi pemerintah, memutuskan lockdown bukanlah persoalan mudah. Harus ada berbagai persiapan yang dilakukan, misalnya menyiapkan bantuan langsung tunai kepada para pekerja sektor informal, menyiapkan penjagaan ketat di wilayah perbatasan, dan seterusnya.
Apalagi jika lockdown dilakukan di satu kota tertentu. Perlu koordinasi dengan kota-kota sekitarnya. Karena itu, kita mengapresiasi sikap Presiden Joko Widodo yang mengingatkan agar kepala daerah tidak memutuskan lockdown sendirian. Lockdown harus diputuskan pemerintah pusat.
Terakhir, saatnya kita mengurangi aktivitas di luar seraya mengurangi kontak fisik, menerapkan isolasi terbatas. Masyarakat harus lebih disiplin bukan karena virus ini sangat mematikan, tetapi lebih karena virus ini sangat cepat menular. Semoga kita, keluarga kita, dan negara kita selamat dari pandemi ini.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.