TAJUK

Bersiap Resesi?

Redaksi DDTCNews
Kamis, 06 Agustus 2020 | 16.26 WIB
Bersiap Resesi?

Presiden Joko Widodo menyampaikan pengarahan saat pemberian bantuan modal kerja di halaman Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Jumat (24/7/2020). Presiden Jokowi menerbitkan  Inpres No. 6/2020 untuk memastikan pandemi Covid-19 segera mereda. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/pool/wsj)
 

BADAN Pusat Statistik (BPS), Rabu (5/8/2020) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II/2020. Angkanya -5,32% (yoy). Ini kontraksi yang lebih dalam dari prediksi manapun, baik itu prediksi Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, maupun lembaga atau ekonom nonpemerintah.

Seluruh pengeluaran sepanjang kuartal II/2020 terkontraksi, mulai dari konsumsi rumah tangga yang terpelanting -5,51%, pembentukan modal tetap bruto -8,61%, ekspor -11,66%, impor -16,96%, konsumsi pemerintah -6,9%, dan konsumsi lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga -7,76%.

Dengan demikian, secara kumulatif pertumbuhan ekonomi semester I/2020 mencapai -1,26% (yoy), karena pada kuartal I/2020 pertumbuhan ekonomi 2,97% (yoy). Secara teknikal, Indonesia belum memasuki periode resesi. Masih tergantung pada pertumbuhan ekonomi kuartal III/2020.

Merespons situasi ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah akan menambah stimulus untuk menggenjot daya beli masyarakat. "Ini yang kami lakukan dan kami all out. Kami berharap dunia usaha dan stakeholders sama-sama memulihkan ekonomi,” tegasnya.

Fenomena seperti di Indonesia ini juga terjadi di berbagai negara. Singapura pada kuartal II/2020 sudah resmi memasuki resesi, karena perekonomiannya menyelam hingga -12,6% (yoy). Begitu pula Filipina, Korea Selatan, Hong Kong, Jerman, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.

Pada saat bersamaan, total kasus infeksi Covid-19 di Indonesia hingga pukul 12.00 Rabu (5/8/2020) sudah mencapai 116.871 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 73.889 korban dinyatakan sembuh dan 5.452 korban atau 4,7% dinyatakan meninggal, sisanya menjalani perawatan.

Pengumuman BPS itu muncul setelah akhir Juli lalu Presiden Joko Widodo merilis Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Perpres ini sekaligus membubarkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.

Sebagai gantinya, muncul Komite Kebijakan Penanganan Covid-19 di bawah Menko Perekonomian. Ketua pelaksananya Menteri BUMN. Komite ini membawahi Satgas Penanganan Covid-19 dan Komite Pemulihan Ekonomi. Pengurus komite ini didominasi orang-orang di bidang ekonomi.

Sepekan berikutnya, Presiden merilis Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19. Di inpres ini, Presiden meminta kepala daerah membuat sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan.

Sanksi itu dapat dikenakan kepada individu, pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat dan fasilitas umum. Sanksi dapat berupa teguran lisan atau teguran tertulis; kerja sosial; denda administratif; atau penghentian/penutupan sementara penyelenggaraan usaha.

Presiden melalui inpres tersebut juga menginstruksikan para menteri dan kepala lembaga, gubernur, serta bupati/wali kota mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memperkuat pencegahan dan pengendalian pandemi Covid-19.

Sinyal yang kita tangkap dari Perpres 82/2020 adalah Presiden hendak menempatkan upaya memperbaiki ekonomi di atas upaya memperbaiki kesehatan. Namun, melalui Inpres No. 6/2020 Presiden ingin memastikan agar pandemi Covid-19 dapat segera mereda.

Tentu, sulit membuat prioritas dalam situasi seperti ini. Namun, memerintah pada dasarnya adalah membuat prioritas. Tinggal bagaimana memitigasi risikonya. Apakah lebih banyak mengerem (kesehatan), atau menginjak gas (ekonomi), keduanya punya risiko yang saling berkaitan.

Kasus di Kota Bekasi, yang wali kotanya nekat melawan perintah Provinsi Jawa Barat dan tetap membuka tempat hiburan dengan alasan penerimaan pajak hiburan, adalah potret bagaimana ekonomi lebih dikedepankan daripada kesehatan, meski aspek kesehatan tidak otomatis diabaikan.

Namun, yang kita tahu, cara terbaik menyeimbangkan kesehatan dan ekonomi adalah mengendalikan pandemi. Karena itu, aspek kesehatan harus tetap diutamakan. Ia tidak boleh disingkirkan atas nama kepentingan ekonomi. Dalam jangka panjang, pendekatan ini jauh lebih sehat untuk ekonomi.

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
Aisyah Jasmine Yogaswara
baru saja
Dengan adanya pandemi yang melanda bukan hanya indonesia, namun juga dunia, tentu di banyak negara resesi bukan hal yang jarang ditemui. Namun, meskipun melihat adanya potensi resesi di Indonesia, saya pribadi merasa bukan hal yang bijaksana berusaha meningkatkan penerimaan pajak terutama melalui bidang pariwisata dan hiburan. Dengan adanya target penerimaan di kedua industri tersebut, pergerakan masyarakat akan meningkat yang mana akan mempertinggi probabilita penyebearan virus. Hal yang ideal menurut saya adalah mengorbankan sementara keuangan dan penerimaan negara untuk melakukan lockdown dan pembatasan pergerakan masyarakat seperti yang dilakukan italia untuk memperdatar kurva. Setelah kurva penyebaran covid indonesia menurun, akan lebih mudah untuk bersama-sama membangun kembali perekonomian.
user-comment-photo-profile
Cikal Restu Syiffawidiyana
baru saja
Resesi adalah bagian terburuk yang sangat mungkin terjadi di masa pandemic seperti saat ini. Tidak hanya Indonesia, negara lainpun mengalami hal yang sama. Di Indonesia, sektor pariwisata menjadi sumbangan pemasukan yang besar bagi negara. Tapi karena pandemic saat ini, kunjungan wisatawan mancanegara turun hingga 81% secara kuartal dan 87% secara tahunan. Walaupun begitu, kesehatan harus tetap menjadi prioritas utama untuk perpanjangan umur ekonomi.