Bung Hatta (Wikimedia)
MENGELOLA keuangan negara bukan pekerjaan mudah. Cermat menentukan prioritas baru satu hal. Adil dan mampu menahan godaan adalah hal lain. Kemampuan ini tidak datang dari mereka yang berjiwa korup, tapi dari mereka yang terbiasa jujur, hemat, dan hati-hati. Bahkan kalau perlu, keras pada diri sendiri.
Karakter itu terlihat misalnya pada sosok Bung Hatta, salah satu Bapak Proklamator kita. Dalam sejarah, Bung Hatta sudah terkenal sangat berhati-hati dalam soal keuangan. Ia pensiun hanya dengan uang Rp200 perak, dan sempat kesulitan membayar tagihan listrik.
Mantan wakil presiden pertama RI ini bahkan pernah dikirim berobat ke Swedia, dan setelah pulang, mengembalikan kelebihan uang berobat yang diterimanya dari negara. Indonesia sungguh beruntung. Sebab dari sosok yang sangat prudence inilah, lahir sebuah visi tentang keuangan negara.
Visi itu tertuang dalam selembar kertas. Cuma selembar. Kertas itu pertama kali muncul dalam sidang kedua Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), hampir persis 71 tahun silam. Ketika itu, Bung Hatta menjadi ketua panitia untuk bidang ekonomi dan keuangan di BPUPKI.
Oleh Bung Hata, pada bagian atas kertas tersebut ia tuliskan judul singkat, ‘Hal Keuangan’. Itulah kertas yang boleh dibilang dokumen paling penting dalam sejarah keuangan negara di Indonesia. Sebab dari selembar kertas itulah lahir pasal-pasal mengenai keuangan negara dalam UUD 1945.
Ada enam poin gagasan Bung Hatta yang dituangkan dalam selembar kertas itu. Pertama, soal fiskal. Di situ disebut bahwa tahun keuangan akan dimulai 1 April setiap tahun sampai 31 Maret tahun berikutnya, dan anggaran diusulkan ke Dewan Rakyat setidaknya sebulan sebelum tahun keuangan dimulai.
Kedua, tentang pajak. Dia mengusulkan agar segala pajak untuk keperluan negara diatur oleh undang-undang. Ketiga, soal pinjaman pajak. Di situ disebutkan pinjaman pajak untuk keperluan negara hanya boleh dilakukan melalui permufakatan dengan Dewan Rakyat.
Keempat, tentang pengaturan, macam dan harga mata uang, akan ditetapkan undang-undang. Poin itu juga menyatakan pemerintah berhak membuat uang logam. Kelima, antisipasi mengenai hal lain-lain. Poin ini menyatakan segala detil tentang tata kelola keuangan negara diatur dengan undang-undang.
Poin terakhir membahas soal pengawasan dan tanggung jawab. Pada poin terakhir ini Bung Hatta menekankan pentingnya memeriksa keuangan negara agar bisa dipertanggungjawabkan. Dan untuk itu perlu diadakan sebuah Badan Pemeriksa Keuangan yang ditetapkan dengan undang-undang.
Enam poin pemikiran Bung Hatta inilah yang diperdebatkan dengan intens oleh anggota BPUKI pada sidang kedua, 10-17 Juli 1945. Dari selembar kertas Bung Hatta itu pula, dan dari perdebatan di BPUPKI, akan lahir pasal yang sangat bersejarah dalam UUD 1945, yakni Pasal 23 ayat (1)-(5), yang memandatkan pembentukan UU APBN, UU Pajak, UU Moneter, UU Keuangan Negara, dan UU BPK.
Tapi visi itu tidak berhenti sekadar memandatkan pembentukan undang-undang yang menandai prinsip demokrasi berdasarkan kedaulatan rakyat tersebut. Sidang kedua BPUPKI itu juga menyetujui penataan hubungan ketatanegaraan antara pemerintah, DPR, Bank Indonesia (BI), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Karena itu, selain 5 ayat di Pasal 23 yang memandatkan pembentukan UU tadi, pemikiran bersejarah lain yang juga muncul dari sidang BPUPKI adalah tentang kedudukan BI yang harus ditetapkan dengan undang-undang, serta status dan kewenangan BPK yang harus terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.
Dari pemikiran yang kemudian dicantumkan dalam penjelasan otentik Pasal 23 ayat (1)-(5) UUD 1945 itu bisalah disadari betapa dalamnya pemikiran founding fathers kita tentang keuangan negara, mulai dari filosofi dasar, perencanaan, penyusunan, pelaksanaan dan kelembagaan, hingga pertanggungjawabannya.
Meski pada paruh 1945 itu situasi masih gawat, dan belum ada kepastian apakah Indonesia akan merdeka—karena Jepang bisa saja ingkar janji dan menolak kemerdekaan Indonesia—para founding fathers sadar bahwa apabila negara Indonesia akhirnya berdiri, pastilah ia akan mulai mengelola keuangannya sendiri.
Visi yang sangat jauh itulah—yang hingga kini masih dapat dibaca dalam dokumen sidang BPUPKI—yang di hari-hari ini, di tengah ancaman gejolak fiskal sekaligus momentum dimulainya pembahasan APBNP 2016, perlu kembali diingat oleh segenap pengambil kebijakan ekonomi. Visi yang tetap menempatkan rakyat dalam posisi begitu mulia, sebetapapun genting situasinya.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.