Ilustrasi. (DDTCNews)
PARIS, DDTCNews – Pemerintah Prancis mempunyai instrumen baru untuk menguji kepatuhan wajib pajak dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan menggunakan data dari media sosial .
Saat ini, pemerintah memiliki kewenangan menggunakan data media sosial sebagai alat uji kepatuhan, termasuk menentukan kebenaran SPT yang disampaikan wajib pajak. Kewenangan tersebut diatur dalam revisi UU Keuangan 2020.
Dengan UU Keuangan yang baru, otoritas pajak berwenang untuk mengumpulkan informasi pribadi pengguna layanan seperti Facebook, Twitter dan Instagram. Data medsos menjadi pembanding untuk mendeteksi potensi penipuan dalam laporan SPT.
"Keputusan ini merupakan bagian dari langkah negara untuk lebih memiliki kendali atas penggunaan internet dan jaringan sosial daring yang digunakan dalam memerangi penipuan pajak," kata Pendiri firma hukum Bonifassi Avocats Stephan Bonifassi, Rabu (17/3/2021).
Dia menyampaikan pemerintah memiliki waktu 3 tahun untuk melakukan ujicoba menggunakan basis data Medsos sebagai alat menguji kepatuhan wajib pajak dalam menyampaikan SPT. Sistem otoritas pajak nantinya akan menyaring berbagai data wajib pajak yang masuk melalui media sosial.
Sistem tersebut mampu mengakses setiap tulisan, gambar, foto, video dan jenis konten lainnya yang diterbitkan wajib pajak di internet. Selain itu, lokasi pengguna juga bisa dipantau otoritas untuk keperluan perpajakan.
Data medsos, lanjutnya, makin memperkaya basis data otoritas pajak dalam melakukan pengawasan dan penegakan hukum perpajakan. Sebelumnya, data seperti informasi keuangan berupa rekening bank, kepemilikan aset dan jasa keuangan asuransi sudah didapatkan oleh otoritas pajak.
"Data sensitif dan tidak relevan akan dihapus paling lama 5 hari setelah pengumpulan. Sementara data yang diperlukan akan disimpan sampai dengan 1 tahun di server yang aman sebelum dihapus secara permanen," sebut Bonifassi mengutip UU Keuangan Prancis.
Dia menambahkan kewenangan otoritas pajak yang besar dalam mengumpulkan data menimbulkan kekhawatiran publik perihal privasi data masyarakat. Menurutnya, jaminan otoritas untuk menghapus data sensitif belum cukup meredakan kecemasan publik Prancis.
"Data yang disimpan tentu tidak kebal dari kegagalan sistem dan isu keamanan. Data ini bisa saja diambil oleh peretas dan mengungkapkannya ke publik," ujar Bonifassi seperti dilansir Tax Notes International. (rig)