JAKARTA, DDTCNews - Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Oesman Sapta Odang menggelar rapat konsultasi terkait sengketa pajak antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua dengan PT. Feport Indonesia. Melalui pertemuan ini diharapkan ada solusi alternatif antarkedua belah pihak terkait sengketa pajak air permukaan sebesar Rp2,6 triliun.
Rapat konsultasi sendiri dimulai pukul 14.50 WIB dan dihadiri oleh perwakilan Freeport Indonesia, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Sementara itu, seluruh anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) yang berjumlah 51 orang ikut hadir dan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Provinsi Papua Muhammad Musaad.
Adapun pemaparan pertama datang dari Ketua MRP Timotius Murib yang menjelaskan perihal sengkaut sengketa pajak antara Freeport Indonesia dengan Pemprov Papua dan Pemkab Mimika. Dalam pemaparannya, MRP memberi maklumat agar sengketa pajak dapat diselesaikan dalam jangka waktu 14 hari. Selain itu, Freeport Indonesia harus membayar tagihan pajaknya meski sudah dibatalkan oleh putusan Mahkamah Agung (MA).
Pemaparan kemudian berlanjut oleh Kepala Bapenda Provinsi Papua Muhammad Musaad yang mengatakan ada opsi membayar tagihan pajak pasca putusan MA. Namun, tetap menemui jalan buntu karena tidak ada kesepakatan terkait besaran pajak yang harus dibayarkan.
"Pokok persoalan yang harus diselesaikan itu Rp1,8 triliun. Sudah ada pertemuan satu kali dengan Freeport dan mereka mengajukan pembayaran pajak air permukaan sebesar Rp840 miliar dan itu tidak sejalan dengan aturan Perda Pajak Daerah Papua," katanya di Kompleks Parlemen, Rabu (1/8).
Jalannya rapat konsultasi sempat di skors selama 10 menit untuk keperluan lobi antara masing-masing pihak. Melalui lobi tersebut disepakati pokok-pokok prinsip penyelesaian alternatif sengketa pajak.
"Ini masalah perbedaan pemahaman saja dan secara prinsip sudah disepakati. Penyelesiaan harus sudah tuntas dalam 3 sampai 5 hari dan bukan 14 hari. Saya tunggu laporannya," kata pria yang akrab di sapa OSO ini.
Setelah rapat konsultasi dengan DPD ini, Oesman kemudian menyerahakan bola kepada Freeport dan Pemprov untuk melakukan negosiasi dan harus selesai paling lambat dalam 5 hari. Atau dengan kata lain sengketa yang menahun tersebut akan rampung pekan depan jika tidak aral melintang dalam negosiasi antara Freeport dan Pemprov Papua.
"Terkait teknis berapa yang dibayar dan dimana negosiasi akan dilakukan saya serahkan kepada masing-masing pihak, saya tunggu hasilnya," tutup Oesman.
Seperti yang diketahui, sengketa mencuat ke publik pasca putusan kasasi MA yang mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) PT Freeport Indonesia atas perkara tunggakan dan denda pajak air permukaan. Hakim membatalkan keputusan Pengadilan Pajak pada 18 Januari 2017 yang menolak permohonan banding Freeport dan mengesahkan tagihan pajak air permukaan Pemprov Papua ke Freeport selama 2011-2015 dengan nilai Rp 2,6 Triliun.
Perkara ini bermula dari tagihan Surat Ketetapan Pajak Daerah Pajak Air Permukaan dari Pemprov Papua ke Freeport sejak 2011 hingga 2015 sebesar Rp 2,6 triliun. Pemprov menagih pajak air permukaan berdasarkan Peraturan Pemerintah Daerah Provinsi Papua Nomor 4 Tahun 2011 tentang pajak daerah.
Dalam Perda tersebut, Pemprov Papua mengenakan tarif pajak kepada Freeport sebesar Rp120 per meter kubik per detik untuk tiap pengambilan air. Selain itu, Pemprov Papua menetapkan tarif pajak air permukaan sebesar 10% dari jumlah volume air bawah tanah, atau air permukaan yang diambil dan dimanfaatkan setiap bulannya.
Sementara Freeport Indonesia bersikukuh enggan membayar pajak air beserta tambahan tagihan denda karena masih mengacu aturan dalam kontrak karya (KK) yang bersifat lex spesialis. Korporasi hanya mengakui pajak atas penggunaan air permukaan sebesar Rp10 per meter kubik per detik. (Amu)