KEBIJAKAN PAJAK

Perkembangan Teknologi Digital Jadi Momentum Perbaikan Kepatuhan Pajak

Redaksi DDTCNews
Rabu, 10 April 2019 | 12.00 WIB
Perkembangan Teknologi Digital Jadi Momentum Perbaikan Kepatuhan Pajak

Managing Partner DDTC Darussalam saat memberikan paparan dalam Tax Gathering KPP Madya Bandung bertajuk ‘Apresiasi dan Inspirasi bagi Kontributor Negeri’ di The Trans Luxury Hotel Bandung, Rabu (10/4/2019).

BANDUNG, DDTCNews – Perkembangan teknologi digital seharusnya dapat diambil sebagai momentum untuk memperbaiki kepatuhan wajib pajak. Terlebih, hingga saat ini pemungutan pajak di Indonesia masih belum optimal.

Hal ini disampaikan Managing Partner DDTC Darussalam saat menjadi pembicara dalam Tax Gathering KPP Madya Bandung bertajuk ‘Apresiasi dan Inspirasi bagi Kontributor Negeri’ di The Trans Luxury Hotel Bandung, Rabu (10/4/2019).

Menurutnya, digitalisasi dapat menjadi instrumen yang mendukung perubahan paradigma ke arah cooperative compliance. Dengan paradigma ini, akan ada efek timbal balik yang saling menguntungkan wajib pajak (WP) dan otoritas, baik dari sisi efisiensi biaya dan waktu serta keterbukaan informasi.

“Dalam kaitannya dengan administrasi pajak, digitalisasi bisa memberikan kepastian waktu (real time), efisiensi, dan transparansi. Ini akan membuat kepatuhan lebih mudah tercapai,” ujarnya saat memaparkan materi ‘Kebijakan Pajak dalam Era Digital Economy Menyongsong Revolusi Industri 4.0’.

Seperti diketahui, penerimaan pajak berkontribusi lebih dari 70% dari total pendapatan negara. Sayangnya, perbandingan penerimaan dengan produk domestik bruto (tax ratio) Indonesia masih di kisaran 10%—11%, jauh dari standar International Monetary Fund (IMF) sebesar 15%.

Bersamaan dengan optimalisasi penggunaan teknologi digital untuk keperluan administrasi, digitalisasi juga bisa digunakan sebagai sarana untuk mengedukasi masyarakat. Menurut OECD, imbuhnya, edukasi pajak adalah mekanisme efektif untuk membangun kepercayaan kepada otoritas sekaligus mendorong keterlibatan masyarakat dalam merumuskan kebijakan pajak.

Dalam konteks global, lanjut Darussalam, digitalisasi telah mendukung transparansi melalui pertukaran informasi (exchange of information/EoI), baik by request, spontaneous, maupun automatic. Dengan mengoptimalkan peran teknologi digital, informasi keuangan, tax ruling, beneficial ownership, dan CbCR dipertukarkan.

Khusus untuk automatic exchange of information (AEoI), sebanyak 102 negara telah berkomitmen untuk mengimplementasikannya. Indonesia sendiri sudah memulainya pada September 2018 dengan paying hukum Undang-Undang No. 9/2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Tujuan Perpajakan.

Pada tahun lalu, DJP sudah mengantongi data aset warga negara Indonesia di yurisdiksi lain senilai Rp1.300 triliun. Data didapat dari pertukaran informasi dengan 66 yurisdiksi partisipan dan 54 yurisdiksi tujuan pelaporan. Tahun ini, pertukaran informasi dilakukan dengan 99 yurisdiksi partisipan dan 81 yurisdiksi tujuan pelaporan.

“Implementasi AEoI seharusnya bisa meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam melaporkan SPT [Surat Pemberitahuan]. Hal ini dikarenakan sudah ada informasi yang dimiliki Ditjen Pajak untuk menguji kebenaran SPT,” katanya,

Tantangan

Kendati demikian, Darussalam tidak memungkiri perkembangan teknologi digital juga menyisakan beberapa tantangan. Salah satu tantangan tersebut berkaitan erat dengan profesi di bidang pajak. Bagaimanapun, perubahan pola bisnis/administrasi pada akhirnya menuntut adaptasi kompetensi dari sumber daya manusia di dalamnya.

Profesional pajak di masa mendatang tidak cukup hanya memiliki kemampuan teknis perpajakan. Mereka harus punya kemampuan dalam menguasai teknologi. Oleh karena itulah muncul profesi baru yang disebut taxologist. Taxologist merupakan profesional yang memiliki keunggulan dalam penggunaan teknologi untuk memaksimalkan fungsi perpajakan.

Tantangan selanjutnya adalah penggunaan robot yang akan marak. World Economic Forum memproyeksi pada 2025, sekitar 52% pekerjaan manusia bisa ditangani oleh robot sejalan dengan tingginya pemanfaatan mesin dan komputer serta teknologi terotomatisasi.

Dalam situasi ini wacana pemajakan atas robot muncul. Beberapa aspek yang ditinjau dari situasi ini adalah perlakuan pajak penghasilan (PPh) 21, batasan biaya robot bagi PPh badan, serta batasan insentif bagi inovasi.

Saat ini, pemerintah Indonesia menawarkan insentif tax holiday (PMK 150/2018) dan tax allowance (PP 18/2015). Komponen robotik, komponen elektronik, dan ekonomi digital menjadi beberapa industri pionir yang dapat memanfaatkan insentif tersebut.

Kendati menjadi salah satu sektor penerima insentif, ekonomi digital juga menyisakan tantangan tersendiri dalam perlakukan pajaknya. Sejatinya, otoritas telah mengeluarkan PMK 210/2018 terkait perlakuan perlakuan perpajakan atas transaksi e-commerce.

Menurutnya, beleid tersebut menjadi terobosan administrasi untuk menjamin kepatuhan mengingat ekonomi digital adalah new shadow economy menurut OECD. PMK 210/2018 ini juga tidak memberikan kebijakan khusus atau pajak baru sehingga menjaminlevel playing field dengan usaha konvensional.

“Sayangnya, PMK ini ditarik lagi. Padahal, arahnya sudah tepat untuk menangani new shadow economy dengan terobosan administrasi,” kata Darussalam.

OECD, sambungnya, juga telah memperkenalkan langkah-langkah baru terkait pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) dalam transaksi e-commerce. Dalam langkah tersebut, OECD melihat pentingnya kewajiban sharing informasi, edukasi kepada pedagang melalui platform, serta cooperative compliance.

Darussalam kembali mengingatkan ada potensi besar untuk meningkatkan kepatuhan pajak melalui optimalisasi teknologi digital. Namun, ada tantangan yang muncul dari perkembangan teknologi digital tersebut. Dengan demikian, respons kebijakan menjadi krusial. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.