Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Kementerian Keuangan akan merevisi PMK 96/2023 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor dan Ekspor Barang Kiriman. Rencana tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Jumat (13/10/2023).
Revisi dilakukan karena penerapan PMK 96/2023 akan dipercepat, yakni mulai 17 Oktober 2023. Dalam ketentuan saat ini, PMK 96/2023 mulai berlaku setelah 60 hari terhitung sejak tanggal diundangkan pada 18 September 2023 atau persisnya mulai berlaku pada 17 November 2023.
“Perlu dilakukan revisi PMK 96/2023 dan ini sudah proses harmonisasi. Insyaallah dalam waktu dekat, sebelum diberlakukannya per 17 Oktober, ini sudah akan dikeluarkan revisi tentang pemberlakuan PMK 96/2023," kata Direktur Teknis Kepabeanan Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) Fadjar Donny Tjahjadi.
Fadjar mengatakan percepatan implementasi PMK 96/2023 dilaksanakan sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Presiden menginstruksikan perlunya pengendalian lonjakan impor barang konsumsi yang mayoritas dikirimkan melalui mekanisme barang kiriman dengan nominal kecil.
Meskipun ada percepatan implementasi PMK 96/2023, Fadjar menegaskan sistem DJBC sudah siap. Selain itu, DJBC juga telah melakukan sosialisasi kepada pelaku usaha, terutama penyelenggara pos dan penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE).
"Yang pasti, dengan percepatan pemberlakuan menjadi 17 Oktober tidak akan mengurangi layanan kepada pelaku usaha,” imbuhnya.
Selain mengenai revisi PMK 96/2023, ada pula ulasan terkait dengan dirilisnya multilateral convention (MLC) atas Pilar 1: Unified Approach.
Direktur Teknis Kepabeanan DJBC Fadjar Donny Tjahjadi mengatakan jumlah barang kiriman yang diberitahukan menggunakan consignment note (CN) telah mengalami kenaikan signifikan dalam beberapa waktu terakhir.
CN merupakan dokumen perjanjian pengiriman barang antara pengirim barang dan penyelenggara pos untuk mengirimkan barang kiriman kepada penerima barang.
Pada 2018, jumlah dokumen CN yang masuk mencapai 19,6 juta atau lebih dari 3 kali lipat dari posisi pada 2017 sebanyak 6,1 juta. Pada 2019, dokumen CN yang masuk mencapai 71,5 juta atau 3,6 kali lipat dari posisi 2018. Pada 2020-2022, dokumen CN yang masuk konsisten di kisaran 61 juta.
Di sisi lain, devisa impor barang kiriman justru menunjukkan tren penurunan. Misalnya, pada 2019, devisa impor barang kiriman mencapai US$1,06 miliar. Nilai ini konsisten turun menjadi US$811 juta pada 2020, US$749,2 juta pada 2021, dan US$703 juta pada 2022. (DDTCNews)
Kondisi serupa juga terjadi pada penerimaan bea masuk dan pajak dalam rangka impor (PDRI) atas impor barang kiriman. Penerimaan bea masuk dan PDRI sempat mencapai Rp2,9 triliun pada 2019, tetapi berangsur turun menjadi Rp2,29 triliun pada 2020, Rp2,13 triliun pada 2021, dan Rp2,11 triliun pada 2022.
Nilai pabean barang kiriman juga mayoritas di bawah FOB US$3, yakni 68,25% dari total barang kiriman pada 2021, serta meningkat menjadi 75,65% pada 2022. Menurut Direktur Teknis Kepabeanan DJBC Fadjar Donny Tjahjadi sekitar 90% dari total barang kiriman merupakan hasil perdagangan PPMSE. (DDTCNews)
PMK 96/2023 turut memuat pemberlakuan PPMSE atau e-commerce sebagai importir. PPMSE dalam negeri akan diperlakukan sebagai importir apabila transaksinya dilakukan melalui marketplace dalam negeri. Untuk PPMS di luar negeri, harus ada perwakilan di Indonesia yang bertindak sebagai importir.
"PPMSE akan berlaku sebagai importir sebagaimana diatur dalam UU Kepabeanan. Jadi PPMSE juga punya kewajiban sebagaimana diatur di dalam UU kepabeanan," ujar Kepala Subdirektorat Impor DJBC Chotibul Umam. Simak ‘PPMSE Kini Diperlakukan sebagai Importir, Begini Konsekuensinya’. (DDTCNews)
Sesuai dengan PMK 96/2023, pemerintah mewajibkan PPMSE atau e-commerce untuk bermitra dengan DJBC. Apabila tidak memenuhi kewajiban bermitra dengan DJBC, impor barang kiriman oleh PPMSE tidak akan dilayani.
"Tetapi untuk blokirnya atau kalau di sini [PMK 96/2023] istilahnya tidak dilayani, itu tidak serta-merta," ujar Kepala Seksi Impor III Direktorat Teknis Kepabeanan DJBC Marjuang Praja. Simak ‘e-Commerce Tak Bermitra dengan DJBC, Impornya Tak Bakal Dilayani’.
Marjuang mengatakan DJBC akan melaksanakan penelitian terhadap jumlah transaksi PPMSE secara periodik. Adapun kewajiban bermitra ini berlaku bagi PPMSE, baik di dalam maupun luar negeri, yang memiliki transaksi impor mencapai lebih dari 1.000 kiriman. (DDTCNews)
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) resmi merilis multilateral convention (MLC) atas Pilar 1: Unified Approach. MLC atas Pilar 1 bakal menjadi landasan dari realokasi hak pemajakan menuju yurisdiksi pasar atas penghasilan yang diterima oleh perusahaan-perusahaan multinasional terbesar di dunia.
"Naskah MLC yang dirilis ini memberikan landasan untuk reformasi sistem perpajakan internasional secara terkoordinasi," ujar Sekjen OECD Mathias Cormann.
Kehadiran MLC Pilar 1 juga bakal menjadi landasan dari pencabutan pajak digital atau digital services tax (DST) yang banyak diterapkan oleh yurisdiksi sebagai respons atas berkembangnya ekonomi digital. Simak ‘OECD Terbitkan Dokumen MLC Pilar 1, Siap Berlaku 2025’. (DDTCNews/Kontan/Bisnis Indonesia)
OECD merilis panduan bertajuk Minimum Tax Implementation Handbook (Pillar Two) untuk mendukung pengadopsian pajak minimum global. Hal ini menyusul telah disepakatinya Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE).
Yurisdiksi memiliki hak untuk mengenakan top-up tax atas laba perusahaan multinasional yang kurang dipajaki lewat mekanisme qualified domestic minimum top-up tax (QDMTT), income inclusion rule (IIR), atau undertaxed payments rule (UTPR).
Pilar 2: GloBE telah diakui sebagai common approach. Setiap yurisdiksi perlu menerapkan pajak minimum global sesuai dengan model rules. Tujuan dari handbook ini untuk melengkapi GloBE rules.
“Handbook ini bertujuan untuk menyajikan elemen inti dari model rules dengan menyajikan keseluruhan desain dan operasional peraturan," tulis OECD. Simak ‘OECD Rilis Handbook Baru, Jadi Panduan Penerapan Pajak Minimum Global’. (DDTCNews)
Rumah sakit swasta yang memenuhi syarat tertentu dapat memperoleh keringanan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) sebesar 50% dari jumlah pajak yang seharusnya terutang.
Syarat tersebut diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No. 796/KMK.04/1993. Merujuk keputusan itu, keringanan diberikan terhadap rumah sakit swasta institusi pelayanan sosial masyarakat (IPSM) yang dapat memenuhi dua syarat.
Pertama, 25% dari jumlah tempat tidur digunakan untuk pasien yang tidak mampu. Kedua, sisa hasil usaha (SHU) digunakan untuk reinvestasi rumah sakit dalam rangka pengembangan rumah sakit dan tidak digunakan untuk investasi di luar rumah sakit. Simak ‘Ketentuan Diskon PBB-P2 sebesar 50 Persen untuk Rumah Sakit Swasta’. (DDTCNews) (kaw)