Atlet panjat tebing berusaha memanjat saat mengikuti kejuaraan panjat tebing tingkat pelajar seri 3 Jawa Tengah kategori Boulder di kompleks BPBD Temanggung, Jawa Tengah, Sabtu (7/9/2024). ANTARA FOTO/Anis Efizudin/YU
JAKARTA, DDTCNews – Corporate social responsibility (CSR) merupakan istilah yang kerap didengar. Di Indonesia, CSR dikenal juga sebagai tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL). Adapun TJSL menjadi salah satu kewajiban yang dipikul perseroan terbatas (PT).
Kewajiban TJSL bagi PT diatur dalam Undang-Undang 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan Peraturan Pemerintah 47/2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas (PP 47/2012).
Berdasarkan UU PT, TJSL berarti komitmen PT untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi PT sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.
Merujuk Pasal 74 ayat (1) UU PT, PT yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam (SDA) wajib melaksanakan TJSL. Apabila PT tidak menjalankan kewajiban tersebut maka akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kendati Pasal 74 ayat (1) UU PT hanya mewajibkan TJSL bagi PT yang menjalankan kegiatan usaha di bidang SDA, nyatanya TJSL atau CSR ini merupakan tanggung jawab PT secara luas. Artinya, TJSL menjadi tanggung jawab bagi PT baik yang bergerak di bidang SDA maupun non-SDA.
Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 PP 46/2022. Pasal tersebut menyatakan setiap PT selaku subjek hukum mempunyai TJSL. Lebih lanjut, bagian penjelasan Pasal 2 PP 46/2022 menyatakan:
“Ketentuan ini menegaskan bahwa pada dasarnya setiap PT, secara moral mempunyai komitmen untuk bertanggung jawab atas tetap terciptanya hubungan PT yang serasi dan seimbang dengan lingkungan dan masyarakat setempat sesuai dengan nilai, norma, dan budaya masyarakat tersebut.“
Terdapat beragam bentuk TJSL atau CSR yang bisa dilakukan PT. Bentuk CSR itu mulai dari memberikan beasiswa, membangun sarana dan prasarana infrastruktur sosial untuk masyarakat sekitar, hingga untuk pembinaan olahraga.
Terkait dengan pajak, CSR terkait dengan ketentuan sehubungan dengan sumbangan. Bagi pemberi CSR atau sumbangan, Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPH) telah mengatur jenis sumbangan yang dapat menjadi pengurang penghasilan bruto dalam penghitungan penghasilan kena pajak.
Salah satu bentuk sumbangan yang dapat menjadi pengurang penghasilan bruto adalah sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf ‘m’ UU PPh. Ketentuan sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga diatur lebih lanjut dalam PP 93/2010.
Pasal 1 huruf ‘d’ PP 93/2010 menegaskan sumbangan yang dapat dikurangkan sampai jumlah tertentu dari penghasilan bruto dalam rangka penghitungan penghasilan kena pajak bagi wajib pajak salah satunya adalah sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga.
Adapun yang dimaksud dengan sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga adalah sumbangan untuk membina, mengembangkan dan mengoordinasikan suatu atau gabungan organisasi cabang/jenis olahraga prestasi yang disampaikan melalui lembaga pembinaan olahraga.
Berdasarkan bagian penjelasan Pasal 1 huruf ‘d’ PP 93/2010, lembaga pembinaan olahraga berarti organisasi olahraga yang membina, mengembangkan dan mengoordinasikan suatu atau gabungan organisasi cabang/jenis olahraga prestasi.
Sementara itu, olahraga prestasi adalah olahraga yang membina dan mengembangkan atlet secara terencana, berjenjang, dan berkelanjutan melalui kompetisi untuk mencapai prestasi dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan.
Namun, biaya yang dikeluarkan untuk memberikan sumbangan pembinaan olahraga tidak bisa sembarang dikurangkan. Sebab, ada sejumlah syarat yang harus diperhatikan oleh PT. Merujuk Pasal 2 PP 93/2010, sumbangan tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dengan syarat:
(i) wajib pajak mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan surat pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh tahun pajak sebelumnya;
(ii) pemberian sumbangan dan/atau biaya tidak menyebabkan rugi pada tahun pajak sumbangan diberikan;
(iii) didukung oleh bukti yang sah; dan
(iv) lembaga yang menerima sumbangan dan/atau biaya memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP), kecuali badan yang dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana diatur dalam UU PPh.
Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga tersebut dapat diberikan dalam bentuk uang dan/atau barang. Kendati memenuhi syarat, pemerintah membatasi besarnya nilai sumbangan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Mengacu Pasal 3 PP 93/2010, besarnya nilai sumbangan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk 1 tahun dibatasi tidak melebihi 5% dari penghasilan neto fiskal tahun pajak sebelumnya.
Misal, penghasilan neto fiskal wajib pajak adalah Rp80 miliar maka jumlah sumbangan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, yaitu maksimal 5% atau sebesar Rp4 miliar. Apabila wajib pajak memberikan sumbangan sebesar Rp5 miliar maka yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto hanya sebesar Rp4 miliar.
Selain itu, PT sebagai pemberi sumbangan wajib mencatat sumbangan yang diberikan sesuai dengan peruntukannya. Selain mencatat sumbangan, PT juga wajib melampirkan tanda bukti penerimaan sumbangan sesuai dengan format pada Lampiran II PMK 76/2011 pada SPT Tahunan PPh badan.
Perlu diperhatikan, apabila sumbangan diberikan kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa maka biaya atas sumbangan tersebut tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto bagi pihak pemberi. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 4 PP 93/2010.
Berdasarkan penjelasan yang diuraikan, PT atau perusahaan yang memberikan CSR untuk pembinaan olahraga bisa menjadikan biaya tersebut sebagai pengurang penghasilan bruto. Namun demikian, CSR yang diberikan harus memenuhi syarat dalam PP 93/2010. (sap)