Pemaparan pembicara dalam Webinar dengan tema ‘Meninjau Konsep dan Relevansi PPh Final di Indonesia’ yang digelar oleh DDTC Academy, Senin (04/05/2020).
JAKARTA, DDTCNews—Kontribusi penerimaan dari pajak penghasilan (PPh) bersifat final cenderung stabil tiap tahunnya. Meski begitu, pengenaan PPh final dalam beberapa kasus justru berisiko menimbulkan tax gap.
Partner Tax Research & Services DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan kesenjangan antara potensi basis pajak dengan realisasi penerimaan yang didapat atau umum disebut tax gap bisa tercipta dari skema PPh final tersebut.
“Argumen bahwa PPh final pro penerimaan bisa diperdebatkan karena dengan pengenaan dengan basis penghasilan bruto juga menciptakan risiko tax gap,” katanya dalam Webinar DDTC Academy dikutip Senin (4/5/2020).
Pengenaan PPh final atas penghasilan bruto, lanjut Bawono dapat saja menjadi salah satu komponen dari policy gap. Secara khusus, policy gap adalah jumlah pajak yang tidak dapat dikumpulkan pemerintah sebagai akibat dari keputusan pemerintah yang memilih untuk tidak memajaki basis pajak tersebut.
Namun demikian, PPh final awalnya seringkali didesain untuk mengurangi compliance gap, yaitu untuk mengurangi tax gap yang berasal dari ketidakpatuhan. Oleh karena itu, melihat kedua sisi secara berimbang juga perlu dilakukan.
Di Indonesia, penerapan PPh final atas pendapatan bruto dapat dijumpai pada sejumlah kebijakan. Misal, pengenaan PPh final UMKM sebesar 0,5% didasarkan atas peredaran bruto atau omzet.
Ada juga usaha jasa konstruksi yang mendapatkan skema pajak penghasilan final. Kondisi itu pada akhirnya membuat kontribusi jasa konstruksi terhadap PDB dan pajak terbilang timpang.
Berdasarkan data Kemenkeu pada 2019, kontribusi usaha jasa konstruksi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 10,7%. Di lain pihak, kontribusi setoran pajak ke kas negara hanya sekitar 7,2%.
Dengan demikian, penerapan skema PPh final diperkirakan menjadi salah satu faktor yang membuat penerimaan dari sektor jasa konstruksi tidak merefleksikan kondisi ekonomi yang sebenarnya.
Hal serupa juga terjadi pada PPh final Pasal 4 ayat (2) atas tanah dan bangunan. Selama ini, PPh final tersebut baru dikenakan pajak apabila dialihkan atau dijual dari satu pihak kepada pihak lainnya.
Artinya, tidak ada pemasukan pajak kepada negara selama aset tersebut belum dialihkan, meskipun nilai asetnya mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Jika dialihkan, PPh final dikenakan atas nilai jualnya saja, tidak dihitung berdasarkan selisih nilai perolehan aset dan nilai jualnya.
Dengan kata lain, sistem pemajakan final ini tidak merefleksikan keuntungan atas modal atau capital gains yang diperoleh wajib pajak. Padahal, kekayaan bisa jadi adalah akumulasi dari penghasilan yang tidak dikonsumsi.
“Kalau kita bicara PPh final ini kebanyakan luput dan menutup mata tentang persoalan-persoalan keadilan horizontal dan vertikal. Jika terus begini, progresivitas sistem PPh ini bisa saja tidak tercapai,” jelas Bawono.
Untuk melihat sejauh mana relevansi PPh Final pada saat ini. Anda bisa mengunduh working paper berjudul 'Meninjau Konsep dan Relevansi PPh Final di Indonesia’. Silahkan unduh di sini. (rig)