JAKARTA, DDTCNews—Wacana pembentukan Badan Penerimaan Pajak (BPP) untuk menggantikan kelembagaan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menggumpal di udara Ibu Kota sejak Presiden Joko Widodo memasukkan RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ke DPR pada 4 Mei 2016.
Namun, wacana itu perlahan tenggelam terutama setelah Presiden menunjuk Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan menggantikan Bambang P.S. Brodjonegoro pada Rabu (27/7/2016), hingga kini dilantik kembali. Sri Mulyani yang enggan membentuk BPP, juga tidak melanjutkan pembahasan RUU tersebut.
Kini, selepas Pemilu 2019, dan Presiden Joko Widodo kembali dilantik untuk periode kedua bersama Wakil Presiden Ma’ruf Amin, wacana pembentukan BPP kembali mengemuka. Apalagi, pemerintah hendak merilis UU Omnibus Law investasi dan perpajakan, yang BPP bisa dimasukkan ke dalamnya.
Kalangan yang setuju dengan pembentukan badan tersebut menilai BPP adalah kebutuhan riil reformasi pajak di Indonesia. BPP yang berkontribusi sekitar 70% bagi penerimaan pajak dengan jumlah pegawai lebih dari 40 ribu seharusnya naik kelas sejajar dengan kementerian, bukan selevel eselon satu seperti selama ini.
Dengan BPP, kelembagaan pajak bisa menjadi semi-independen dan tidak terpaku pada birokrasi yang kaku dan lamban. BPP—yang mempunyai diskresi keuangan, sumber daya manusia, dan organisasi—diperlukan untuk memecah kebuntuan akibat kegagalan penerimaan pajak yang bertahan sejak 2008.
Struktur organisasi BPP bisa mengadopsi komisioner yang mencakup perwakilan pengusaha, asosiasi, akademisi, dan pemerintah, sehingga komisioner BPP merupakan representasi beberapa stakeholder. Namun, BPP harus berkoordinasi dengan Kemenkeu, sehingga BPP menjadi semi-independen.
Adapun kalangan yang menolak pembentukan BPP berpandangan pajak merupakan bagian dari kebijakan fiskal yang berada di tangan Menteri Keuangan. Karena itu, DJP tidak bisa berdiri sendiri karena kalau tidak, DJP akan memiliki kebijakan sendiri yang tidak sinkron dengan kebijakan fiskal.
Selain itu, posisi DJP di masa akan datang dianggap bukan merupakan tujuan yang utama. Pokok yang terpenting adalah membangun institusi pajak yang kuat, kredibel, dan akuntabel. Dengan demikian, DJP bisa memperkuat kepercayaan masyarakat yang sudah diraihnya dengan mencapai target penerimaan.
Ada pula kekhawatiran ketika DJP dijadikan BPP, maka praktik perpajakan akan semakin menekan. Kalangan yang menolak BPP juga mempertanyakan, jangan-jangan persoalannya bukan pada kelembagaannya, tetapi pada kewenangan yang tidak diseimbangkan dengan pengawasannya.
Presiden Jokowi sendiri memilih menjaga jarak terhadap wacana pembentukan BPP ini. Ia tidak lagi bersikap tegas pro BPP seperti ditunjukkannya sebelum ia dilantik sebagai Presiden RI 2014-2019. Namun, sisa preferensi sikap Presiden itu masih terlihat dari Visi-Misi dan RPJMN 2015-2019.
Lalu, apa pendapat Anda sendiri? Setuju dengan pembentukan BPP yang semi-independen di bawah Presiden, atau tetap seperti DJP kini yang eselon satu di bawah Menteri Keuangan? Atau Anda punya pandangan lain? Tulis komentar Anda di bawah ini, siapa tahu Anda yang terpilih meraih hadiah handphone Samsung!
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Jumiati
Topan Febryanto Rasyid
Indrawandy Very Junara Sinaga
Wahyu Rizky Nugroho
Alamsyah Yahya Nugraha
Muhammad
Ammar Ramadhan
Melania Krisna
okevanrianus
Helmi Zus Rizal
Addhien Hudi Utomo
Ilham Khanafi
Ulphi Suhendra
syahrul gunawan
Bung Obet
Sas Sasongko
Krisna
Erwin Yuniarto
Surawijaya
Adi Saputra
Suhardiman
Edwin
Suyetno effendi
Marbowo Leksono
setiawan
Bang Mus
Pupunk
predi Sinaga
Wisnu Widodo
Suheri
Sukarso Joyodiningrat
Krishna Triswara Wisnu
Arief Suryonegoro
harry gunawan
Cahyani Adina
Asrul Daeng Lewa
Titis Prastowo
Agus Priyono II
Paniboi
Barli Zainul
Didik Yandiawan
Ardiansyah Denny Wijaya
Okki Prasetyo
Mm
Timothy Lionel
Yanuar Arafat
Amin Kiagus
Om Tuwek
Syamsul Aspar Basri
Indramahendra
Falar Fitra
Robby Ayahqays