Galih Ardin,
MENJELANG pemilihan umum pada 24 Februari 2024, suhu politik di Indonesia kian menghangat. Organisasi-organisasi politik sibuk mempersiapkan calon presiden, wakil presiden, ataupun calon anggota legislatif. Kampanye, iklan, dan sosialisasi kian masif untuk menggaet dukungan dari pemilih.
Di sisi lain, sebagai lembaga eksekutif, pemerintah juga tengah sibuk mempersiapkan sarana dan prasana yang diperlukan dalam hajatan akbar bangsa Indonesia tersebut. Tungku-tungku APBN mulai dipanaskan untuk memastikan logistik keperluan pemilu 2024 terpenuhi.
Tidak hanya itu, pemerintah dan DPR juga telah menyepakati pengesahan APBN 2024. Menyangkut fiskal, jika melihat ke belakang, kita dapat mengetahui bahwa sistem pemilihan umum sangat berkaitan erat kebijakan pajak.
Pada 1768 misalnya, rakyat Amerika melakukan protes terhadap pemerintah kolonial Inggris dengan menolak Stamp Act yang dikenakan. Penyebab utama adanya penolakan tersebut adalah pemerintah koloni tidak memberikan hak keterwakilan bangsa Amerika pada parlemen koloninya.
Rakyat Amerika dengan lantang mengatakan tidak ada pajak tanpa keterwakilan atau dikenal dengan slogan ‘no taxation without representation’. Dalam perkembangannya, protes ini berkembang luas dan memicu lahirnya deklarasi kemerdekaan Amerika pada 1776 (Gladney, 2014).
Dalam sistem demokrasi modern, setidaknya terdapat 3 teori yang dapat menerangkan hubungan antara partisipasi publik pada pemilihan umum dan kebijakan pajak. Ketiga teori yang dimaksud adalah Median Voter Model, Leviathan Model, dan Probabilistic Voting Model.
Median Voter Model menjelaskan pemilih dengan pendapat tengah yang paling kuat akan menentukan hasil dari pemilu. Dasarnya adalah premis partai politik akan berusaha memenuhi kebutuhan dan harapan pemilih yang paling banyak dengan harapan untuk memenangkan pemilu.
Di sisi lain, Leviathan Model menjelaskan manusia pada dasarnya merupakan makhluk yang destruktif. Dengan demikian, diperlukan suatu tatanan dengan menciptakan suatu kontrak sosial melalui penyerahan kekuasaan. Dalam teori ini, pajak adalah wujud material dari penyerahan kekuasaan kepada negara.
Adapun Probabilistic Voting Model dianggap paling dapat menjelaskan hubungan antara sistem demokrasi dan kebijakan pajak (Kristiaji, Khairani, dan Kurnia, 2014). Dalam teori ini, pemilih akan memberikan dukungan kepada organisasi politik berdasarkan kebijakan yang diusung oleh masing – masing organisasi politik tersebut. Dengan demikian, organisasi politik akan berlomba ‘menjual’ platform kebijakan untuk menarik simpati para pemilih (Hettich dan Winer, 2009).
Dengan kata lain, teori tersebut menjelaskan dalam sistem demokrasi modern, organisasi politik membutuhkan dukungan suara dari pemilih. Namun, suara dari pemilih tergantung kepada kesesuaian antara kebijakan yang ditawarkan oleh organisasi politik dan preferensi pemilih. Platform kebijakan yang diusung oleh organisasi politik akan menentukan besaran suara yang didapat.
Contoh nyata dari Probabilistic Voting Model dapat kita lihat pada proses pemilihan Gubernur New Jersey pada 1993. Gubernur New Jersey sebelumnya, Jim Florio, berniat untuk mencalonkan diri kembali untuk masa jabatan yang kedua.
Pada masa jabatan sebelumnya, Gubernur Jim terpaksa menaikkan pajak penjualan dan pajak penghasilan untuk menutup defisit anggaran. Rakyat New Jersey marah dan merasa dibohongi atas janji politik Jim pada periode sebelumnya untuk tidak menaikkan tarif pajak. Hasilnya, Jim gagal terpilih untuk kedua kalinya (Fried, 2022).
Contoh lain dapat kita lihat pada pemilihan umum Ghana pada 2016 silam. Calon presiden saat itu, Nana Akufo-Addo, memberikan janji politik berupa penurunan tarif pajak penghasilan korporasi dari 25% menjadi 20%. Agaknya, janji manis tersebut mampu mengantarkan Nana Akufo menjadi presiden Ghana pada 2016 (Darussalam, 2023).
Namun, Nana lupa pada saat itu Ghana sedang mengalami defisit anggaran dan utang luar negerinya membengkak. Alhasil, jangankan melakukan penurunan tarif pajak, Ghana justru memberlakukan beberapa jenis pungutan pajak baru.
Contoh-contoh di atas memberikan sebuah pelajaran perlunya organisasi politik untuk merumuskan sebuah platform kebijakan pajak secara hati-hati. Tujuannya adalah tidak hanya mampu menarik simpati dari pemilih, tetapi juga dapat dilaksanakan. Jika tidak, platform kebijakan tersebut justru akan menjadi bumerang yang akan memberangus suara dari pemilih.
UNTUK meningkatkan partisipasi pemilih sekaligus meningkatkan kualitas proses demokrasi, pada dasarnya, ada beberapa hal dalam bidang pajak yang dapat dilakukan oleh organisasi politik.
Pertama, organisasi politik harus menyampaikan pandangannya terhadap kebijakan perpajakan yang akan diusung. Disadari atau tidak, penerimaan pajak merupakan urat nadi dalam pembangunan bangsa.
Arah kebijakan pembangunan sangat bergantung pada penerimaan pajak yang menyumbang lebih dari 70% pendapatan negara dalam APBN. Dengan demikian, organisasi politik sebaiknya tidak hanya berfokus terhadap program yang akan dijalankan jika terpilih, tetapi juga pada sumber-sumber pendanaannya.
Kedua, saat mengampanyekan program ataupun kebijakan dalam bidang perpajakan yang akan diusung, organisasi politik harus melihat dalam perspektif luas. Organisasi politik tentu boleh-boleh saja mengusung kebijakan yang bersifat populis seperti penurunan tarif pajak, pemberian insentif, atau pemberian fasilitas perpajakan.
Namun demikian, perlu diingat, kebijakan yang diusung organisasi politik tersebut juga harus mempertimbangkan kapasitas fiskal maupun indikator makroekonomi lainnya. Dengan demikian, kebijakan yang dikampanyekan dapat dilaksanakan.
Ketiga, organisasi politik harus membangun kesadaran (awareness) dalam bidang perpajakan. OECD (2021) menyampaikan komunikasi dan kampanye yang baik merupakan kunci dalam menciptakan tax awareness.
Adapun tax awareness ini penting untuk membangun kepercayaan (trust) antara organisasi politik dan pemilih. Terdapat beberapa awareness yang dapat dibangun oleh organisasi politik, misalnya publikasi calon presiden, calon wakil presiden, atau calon anggota legislatif yang telah menyampaikan SPT Tahunan oleh masing-masing organisasi politik.
Pada akhirnya, kita berharap hajatan besar bangsa Indonesia pada 2024 mendatang berlangsung dengan aman dan sukses. Dengan demikian, suksesi kepemimpinan berlangsung dengan lancar. Agenda pembangunan berkelanjutan yang selaras dengan Visi Indonesia 2045 dapat terwujud.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.