Ach. Fawaid As’ad,
KETENTUAN mengenai cessie sebagai suatu perjanjian pengalihan piutang diatur dalam Pasal 613 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Cessie sering dipahami secara sederhana terkait dengan pengalihan hak tagih kepada pihak ketiga.
Mekanismenya adalah peralihan piutang atas nama dilakukan dari kreditur lama (cedeng) kepada kreditur baru (cessionaris) atas kredit yang diberikan kepada debitur (cessus). Pengalihan itu dilakukan dengan jalan membuat akta cessie secara otentik atau di bawah tangan dengan persetujuan debitur.
Tujuan dari pembuatan akta cessie, baik otentik maupun di bawah tangan, adalah untuk pengalihan hak-hak atas agunan yang dilimpahkan kepada pihak ketiga (cessionaris). Hal ini sekaligus pemberitahuan secara tertulis untuk disetujui dan diakui terkait dengan kuasa hak agunan tersebut.
Tentunya, surat bawa atas piutang yang sudah diserahkan disertai dengan endosemen yang bersangkutan dengan hak agunan. KUH Perdata sudah mengatur sedemikian rupa pola pengalihan piutang kepada pihak ketiga yang sudah dikategorikan dalam hukum perjanjian.
Terkait dengan praktik pengalihan piutang kepada pihak ketiga melalui cessie tersebut, ada fakta di lapangan yang menarik untuk ditelaah lebih dalam. Fakta itu terkait dengan sektor perbankan yang penulis alami saat menjadi auditor pada sebuah kantor akuntan publik (KAP) kecil di Kota Malang.
Pada waktu itu, ada klien (wajib pajak orang pribadi) yang memiliki utang pada salah satu bank. Dia menggunakan sertifikat tanah dan bangunan miliknya sebagai agunan atas kredit tersebut. Dia merupakan seorang pekerja bebas dengan usaha ritel yang berkedudukan di Kota Malang.
Pada awal 2019, usaha yang digelutinya mengalami penurunan penjualan yang signifikan karena terdapat pesaing baru pada usaha ritel yang sama. Kemudian, pada 2020, ada pandemi Covid-19 yang turut menambah tekanan pada usahanya.
Sejak awal 2019, terdapat tunggakan angsuran yang tidak mampu dibayarkan kepada bank. Kemudian, pada 2022, secara tiba-tiba dia mendapatkan informasi dari pihak bank. Informasi yang disampaikan adalah atas piutang dalam perjanjian kreditnya sudah dialihkan kepada pihak ketiga.
Perjanjian pengalihan piutang kepada pihak ketiga seperti itu tentu banyak dilakukan oleh manajerial perbankan untuk mengamankan non-performing loan (NPL). Tujuannya agar dapat menjamin keberlangsungan pemberian fasilitas kredit kepada masyarakat dan lingkungan bisnis.
Seperti diketahui, kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah pastinya memerlukan jaminan atau agunan. Adapun jaminan atau agunan itu akan digunakan sebagai dasar penghitungan pemberian kredit kepada nasabah.
Ketika debitur dalam beberapa waktu gagal membayar angsuran, pihak bank dapat menjual agunan tersebut untuk melunasi utang debitur. Segala perjanjian utang-piutang biasanya tertuang pada perjanjian kredit yang di dalamnya juga memuat tentang pengalihan piutang kepada pihak ketiga.
Perjanjian kredit memang tidak diatur khusus dalam peraturan. Namun, isi perjanjian tersebut tidak boleh melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berlanjut pada cerita sebelumnya, klien tersebut mengungkapkan bahwa pihak ketiga menelpon dan meminta persetujuan atas perjanjian pengalihan piutang beserta agunannya. Sisa piutang pokok sekitar Rp500 juta serta total bunga dan denda sekitar Rp750 juta. Agunan tanah dan rumah ketika dijual hanya sekitar Rp600 juta.
Ketika ditelusuri lebih dalam, termasuk mewawancarai pihak ketiga yang menanggung piutang, ditemukan bahwa perusahaan pihak ketiga ini membeli piutang debitur kepada perbankan sebesar Rp500 juta atau sejumlah sisa pokoknya.
Pihak perbankan melakukan langkah tersebut sebagai upaya restrukturisasi kredit untuk memperbaiki NPL yang buruk. Berdasarkan pada analisis harga pasar, pihak ketiga memiliki keuntungan sekitar Rp100 juta ketika mampu mendapatkan persetujuan dari pihak debitur berikut dengan endosemenya.
Secara fakta, terdapat potensi pengurangan penghasilan bruto sebesar selisih pendapatan bunga yang seharusnya dapat menambah pajak penghasilan bank. Sebab, terdapat pengalihan piutang kepada pihak ketiga atas debitur yang mengalami kegagalan membayar angsuran.
Meskipun demikian, perbankan juga mempunyai potensi pendapatan baru setelah kinerja NPL membaik melalui menyalurkan kredit kepada nasabah potensial. Pada dasarnya, pengalihan piutang sudah diatur dalam POJK 35/2018 serta PMK 84/2006.
Dalam ketentuan peraturan perpajakan, jasa pembiayaan salah satunya pengalihan piutang. Jasa tersebut termasuk kelompok jasa yang dibebaskan dari pengenaan PPN sesuai dengan Pasal 16B ayat (1a) huruf j UU PPN.
Perlu adanya tracing asset secara transparan terhadap agunan yang sudah berpindah kepemilikannya. Tidak dimungkiri, pada saat perusahaan pihak ketiga (cessionaris) menjual agunan (tanah dan bangunan), memang ada pengenaan PPh final, BPHTB, dan PPN.
Namun demikian, terdapat celah yang besar ketika database tracing aset atas agunan yang diambil alih kepemilikannya tidak memiliki legal standing, meskipun jasa pengalihan piutang termasuk dibebaskan PPN.
Pengaturan legal standing terkait dengan hal tersebut sebagai potensi penerimaan negara dari pajak untuk meningkatkan tax ratio Indonesia ke depannya. Potensi penerimaan pajak yang tinggi pada dasarnya memiliki hakikat untuk mensejahterakan rakyat secara berkeadilan.
Isu terkait dengan potensi pajak dari cessie ini juga perlu menjadi perhatian calon presiden dan wakil presiden yang maju dalam pemilihan umum (pemilu) 2024.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.