Benny Oktis Yanurwenda,
PERTAMBANGAN menjadi salah satu sektor yang berperan penting dalam produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Berdasarkan pada data Badan Pusat Statistik (BPS), pertambangan dan penggalian menyumbang sekitar Rp2.198,0 triliun atau sekitar 10,5% terhadap total PDB 2023 senilai Rp20.892,4 triliun (atas dasar harga berlaku).
Para pendiri bangsa sejak awal sudah memahami keadaan ini sehingga telah memberikan pedoman dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara serta dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Amanat konstitusi ini menjadikan pemerintah berperan penting dalam pengelolaan tambang.
Adapun dalam pengelolaan tambang, ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan pemerintah. Pertama, skema pengelolaan langsung. Dalam skema ini, pemerintah melakukan pengelolaan sendiri atas suatu pertambangan. Pemerintah menyalurkan modal untuk mendirikan BUMN sebagai pengelola suatu pertambangan.
Apabila pengelolaan ini berhasil, pemerintah memperoleh penghasilan. Sebaliknya, jika gagal, risikonya juga harus ditanggung pemerintah. Pemerintah bisa memperoleh penghasilan dari keuntungan BUMN yang disalurkan dalam bentuk dividen, royalti, pajak, maupun jenis pendapatan lain yang sah. Contoh BUMN pengelola tambang adalah PT Pertamina, PT Timah, dan PT Inalum.
Kedua, skema penugasan. Dalam skema ini, pemerintah selaku pemilik sumber tambang menugaskan suatu entitas usaha untuk mengelola sumber daya tambang. Entitas tersebut akan memperoleh reward dari pemerintah. Pada prinsipnya, penguasaan atas aset pertambangan tersebut masih ada pada pemerintah.
Pemerintah menugaskan pihak swasta, baik domestik maupun asing. Pihak tersebut mengeluarkan biaya-biaya yang berkaitan dengan kegiatan tambang. Karena aset pertambangan tersebut dimiliki negara, hasil penjualannya juga menjadi milik pemerintah. Pihak swasta sebagai pengelola memperoleh imbalan jasa dari pemerintah serta penggantian atas biaya yang sudah dikeluarkan.
Dalam skema kedua ini, risiko kegagalan usaha ditanggung oleh pihak swasta. Pemerintah memperoleh penghasilan dari keuntungan penjualan, royalti, pajak, maupun jenis pendapatan lainnya. Contohnya adalah kontraktor kontrak kerja sama (K3S) pada sektor minyak dan gas bumi (migas).
Ketiga, skema perizinan. Dalam skema pengelolaan ini, pemerintah memberikan izin kepada suatu entitas untuk mengelola sumber daya tambang. Penjualan hasil tambang ini dikelola sepenuhnya oleh pihak swasta. Apabila terjadi kerugian, kerugian ini ditanggung perusahaan.
Pemerintah tidak mendapatkan penghasilan langsung dari penjualan hasil tambang. Namun, pemerintah masih akan memperoleh pendapatan berupa royalti, pajak, dan penghasilan lain yang sah. Contoh dari skema ini adalah perizinan tambang yang didasarkan pada UU Mineral dan Batu Bara (Minerba).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan perbedaan skema pengelolaan tambang berimplikasi pula pada perbedaan atas peranan pemerintah, penanggung investasi dan risiko, serta pendapatan negara. Skema pengelolaan langsung memberi potensi pendapatan negara dan peranan pemerintah yang lebih besar. Namun, pemerintah harus menanggung risiko dan investasi yang besar pula.
Skema perizinan memberikan risiko relatif kecil bagi pemerintah, tetapi terbatas pula pendapatan yang diterima. Sementara itu, skema penugasan relatif memiliki risiko dan pendapatan negara yang moderat. Namun, dalam skema penugasan, pemerintah harus memiliki kemampuan forecasting yang baik agar kontrak yang disusun memberikan keuntungan yang optimal.
KOMODITAS pertambangan merupakan aspek penting bagi berbagai industri pengolahan, baik sebagai sumber energi (seperti minyak bumi dan batu bara) maupun sebagai bahan baku (seperti besi dan nikel). Oleh karena itu, produk pertambangan memiliki pasar internasional yang besar. Tak heran jika perusahaan pertambangan memiliki transaksi lintas batas yang besar pula.
Dari sisi perpajakan, keadaan tersebut memunculkan potensi perilaku profit shifting dari perusahaan pertambangan. Perusahaan pertambangan bisa mengatur skema transaksinya sedemikian rupa untuk menggeser basis pemajakannya keluar dari Indonesia, terutama ke negara yang memiliki skema perpajakan yang preferable.
Akibatnya, penerimaan pajak di Indonesia menjadi lebih kecil daripada yang seharusnya. Alhasil, Indonesia kehilangan potensi penerimaan pajak yang signifikan. Untuk memitigasi risiko ini, pemerintah perlu memasukkan perspektif perpajakan dalam skema pengelolaan pertambangan.
Pada skema pengelolaan langsung, hypothetically risiko ini berada pada level minimal karena pemerintah idealnya tidak memiliki kepentingan untuk melakukan praktik profit shifting. Apabila terjadi agency problem, pemerintah seharusnya bisa menetapkan ketentuan yang melarang manajemen BUMN untuk melakukan praktik-praktik penggeseran profit, misalnya mendirikan anak perusahaan di tax haven.
Pada skema penugasan, secara teoretis perusahaan yang ditunjuk menjadi kontraktor sebetulnya tidak memiliki motivasi untuk melakukan profit shifting dari bagian penghasilannya. Hal ini dikarenakan penghasilan tersebut bersifat net profit.
Namun, masih dalam skema penugasan, perusahaan kontraktor bisa saja memiliki motivasi untuk memperbesar biaya melalui skema transaksi terafiliasi. Secara tidak langsung hal ini akan memperbesar penghasilannya. Oleh karena itu, pemerintah juga perlu melakukan kontrol terhadap biaya dengan mengakomodasi perspektif transfer pricing.
Skema perizinan memiliki risiko profit shifting yang besar karena kontrol terhadap semua transaksi berada pada perusahaan. Perusahaan memiliki motivasi untuk menggeser penghasilannya karena pajak yang akan dibayarkan tergantung pada besarnya penghasilan yang dilaporkan. Pemerintah hanya bisa mengakses transaksi ini melalui pemeriksaan sehingga perusahaan memiliki space yang leluasa.
Untuk memitigasi berbagai risiko di atas maka dalam pengelolaan pertambangan, pemerintah perlu memiliki awareness terhadap adanya kemungkinan profit shifting. Untuk itu, titik-titik kritis yang menjadi potensi kelemahan perlu dicermati.
Hal-hal yang dapat dilakukan antara lain, pertama, mengatur tata kelola usaha pertambangan sedemikian rupa untuk membatasi perilaku profit shifting, misalnya larangan mendirikan paper company, pengaturan transaksi perusahaan, dan kode etik manajemen.
Kedua, meningkatkan kerja sama Kementerian ESDM dengan Direktorat Jenderal Pajak melalui aktivitas analisis atau penegakan hukum bersama. Ketiga, melakukan pertukaran data antarinstitusi yang terlibat dalam pengelolaan pertambangan, seperti Kementerian ESDM, pemerintah daerah, Kementrian LHK, Kementerian Agraria/ATR, dan Direktorat Jenderal Pajak.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024.