Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Hibah adalah suatu pemberian secara sukarela oleh seseorang kepada penerima tanpa adanya kewajiban hukum untuk memberikan imbalan. Dalam konteks hukum, hibah biasanya dianggap mengikat bagi kedua belah pihak yang terlibat, yaitu pihak yang memberikan hibah (penghibah) dan pihak yang menerima hibah (penerima). Ketentuan mengenai hibah dapat ditemukan dalam KUHP Perdata, yang mengatur persyaratan dan mekanisme hibah.
Selain hibah, ada juga pemberian sukarela berupa warisan. Warisan adalah hak yang diberikan kepada seseorang sebagai penerima harta dari seseorang yang telah meninggal dunia.
Hibah dan warisan adalah dua istilah yang sering digunakan dalam konteks pemberian atau penerimaan harta secara sukarela. Namun, kedua konsep ini memiliki beberapa perbedaan dalam hal pengenaan pajak penghasilan.
Ketentuan mengenai syarat-syarat pengecualian harta hibahan dari objek pajak penghasilan telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 90/2020 dan kembali ditegaskan melalui Undang-undang (UU) 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Sebagai turunan UU HPP, PP 55/2022 juga mengatur tentang pengecualian harta hibahan, baik berupa uang atau barang, sebagai objek pajak penghasilan (PPh). Pasal 7 beleid tersebut menyebutkan harta hibah dikecualikan dari pengenaan PPh sepanjang memenuhi sejumlah syarat.
Lantas, bagaimana ketentuan pengenaan pajak penghasilan atau pengecualian dari pengenaan pajak penghasilan atas hibah dan warisan? Apa aspek administrasi yang harus diperhatikan?
Simak penjelasan lengkapnya dalam Bincang Academy bersama Specialist of DDTC Fiscal Research and Advisory, Vallencia. Selengkapnya, tonton videonya melalui link berikut:
Gabung grup Whatsapp DDTC Academy untuk mendapatkan informasi pelatihan pajak dan berdiskusi pajak dengan member DDTC Academy lainnya. Jangan lupa, subscribe akun YouTube DDTC Indonesia untuk mendapatkan berbagai ilmu perpajakan secara gratis! (sap)