Tampilan artikel yang ditulis kedua profesional DDTC berjudul New Indonesian TP Rule Introduces Double Taxation Prevention Tool di International Tax Review (ITR) Inggris.
INDONESIA telah memperbarui ketentuan transfer pricing (TP). Tidak hanya dipandang sebagai instrumen untuk mencegah penghindaran pajak (tax avoidance), ketentuan transfer pricing juga diformulasikan untuk menghilangkan pemajakan berganda (double taxation).
Pembaruan ketentuan transfer pricing di Indonesia ini diulas oleh 2 profesional DDTC, yakni Assistant Manager of DDTC Consulting Tami Putri Pungkasan dan Assistant Manager of DDTC Consulting Yurike Yuki, dalam sebuah artikel yang dipublikasikan International Tax Review (ITR) Inggris.
Dalam artikel berjudul New Indonesian TP Rule Introduces Double Taxation Prevention Tool, kedua profesional DDTC mengulas pembaruan ketentuan transfer pricing yang telah dilakukan pemerintah melalui PMK 172/2023.
Mengadopsi pendekatan ‘omnibus’, pemerintah melakukan kodifikasi pedoman menyangkut transfer pricing, mulai dari definisi pihak terkait, transfer pricing documentation (TP Doc), mutual agreement procedure (MAP), hingga advance pricing agreement (APA) menjadi 1 regulasi.
Ketentuan terdahulu, yakni PMK 213/2016, PMK 49/2019, dan PMK 22/2020, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Penulis mengatakan meskipun PMK 172/2023 adalah menggabungkan peraturan yang ada, ada beberapa perubahan penting.
“Salah satu perubahan penting itu adalah adanya corresponding adjustments (penyesuaian keterkaitan) dalam regulasi, yang secara jelas menyebutkan penghindaran pajak berganda sebagai alasan penerapannya,” ujar penulis dalam artikel tersebut.
Aturan transfer pricing, jelas penulis, sudah ada sejak UU PPh pertama kali diundangkan pada 1983. Penjelasan Pasal 18 ayat (2) UU PPh 1983 menyatakan penyesuaian transfer pricing dimaksudkan untuk mencegah ‘penyelundupan pajak’.
Pada 1994, kata ‘penyelundupan pajak’ diubah menjadi ‘penghindaran pajak’. Sejak saat itu, ketentuan transfer pricing dipandang sebagai aturan antipenghindaran pajak. Padahal, antipenghindaran pajak hanyalah satu sisi dari transfer pricing coin.
Sisi lain dari transfer pricing coin adalah pencegahan pajak berganda. Pemajakan berganda bisa terjadi ketika pendapatan salah satu pihak yang bertransaksi meningkat karena penyesuaian transfer pricing, sedangkan biaya pihak lain tidak dikurangi dengan jumlah yang sama.
Oleh karena itu, untuk menghilangkan pajak berganda, penyesuaian terhadap biaya pihak lain yang bertransaksi harus dilakukan. Adanya corresponding adjustments dalam ketentuan transfer pricing di Indonesia saat ini menjadi upaya untuk mencegah pemajakan berganda tersebut.
Penulis turut mengulas corresponding adjustment pada transaksi lintas batas (cross-border) dan transaksi domestik. Untuk transaksi lintas batas, Pasal 9 (2) konvensi pajak OECD dan PBB mengharuskan yurisdiksi yang mengadakan kontrak untuk melakukan corresponding adjustments.
Untuk melakukan penyesuaian tersebut, sesuai dengan Pasal 9 (2), pejabat yang berwenang dari yurisdiksi pihak yang mengadakan perjanjian, jika perlu, harus berkonsultasi satu sama lain. PMK 172/2023 menetapkan konsultasi bilateral itu difasilitasi melalui MAP.
Lewat PP 55/2022, peluang untuk menginisiasi MAP multilateral kini juga terbuka. Kendati demikian, corresponding adjustment tidak bersifat otomatis atau wajib. Penyesuaian hanya dilakukan jika yurisdiksi lain menyetujui penerapan arm’s-length principle (ALP) dalam primary adjustment.
“Oleh karena itu, keberhasilan penghilangan pajak berganda akan sangat bergantung pada efektivitas MAP,” imbuh penulis dalam artikel tersebut.
Berbeda dengan transaksi lintas negara, transaksi dalam negeri tidak memiliki akses terhadap MAP sehingga tidak memiliki prosedur untuk memulai negosiasi antarpemerintah atau antarkantor pajak.
Sesuai dengan Pasal 40 PMK 172/2023, wajib pajak dalam negeri yang menjadi pihak lawan transaksi dapat melakukan corresponding adjustment jika primary adjustment telah dilakukan otoritas pada saat pemeriksaan pajak.
Namun, corresponding adjustment tidak dilakukan secara otomatis. Penyesuaian harus dilakukan melalui pemberitahuan tertulis kepada kantor pajak tempat wajib pajak dalam negeri yang menjadi pihak lawan transaksi terdaftar.
Menurut penulis, idealnya, otoritas dapat melakukan penyesuaian yang relevan terhadap counterparty melalui koordinasi internal antarkantor pajak untuk mencegah terjadinya pajak berganda pada transaksi afiliasi di dalam negeri.
Selain menimbulkan beban administratif bagi wajib pajak, prosedur ini juga menimbulkan risiko ketidakpastian yang signifikan. Terlebih, wajib pajak yang terkena penyesuaian transfer pricing oleh otoritas harus terlebih dahulu menyetujui dan tidak mengajukan keberatan (sengketa).
Dengan kondisi tersebut, DJP meminta kepastian dari wajib pajak – yakni menyetujui penyesuaian tersebut – sebelum melakukan corresponding adjustment. Namun, tidak ada pernyataan yang jelas mengenai harus diberikannya corresponding adjustment oleh kantor pajak pihak lawan.
Meskipun dukungan terhadap penyesuaian tersebut merupakan kemajuan besar dibandingkan peraturan berbasis aturan anti penghindaran sebelumnya, peraturan penyesuaian terkait yang ada saat ini di Indonesia masih kurang memberikan kepastian bagi wajib pajak.
Dalam artikel tersebut, kedua penulis menyatakan pemberlakuan PMK 172/2023 menandakan adanya pengakuan terhadap pencegahan pajak berganda sebagai tujuan penyesuaian transfer pricing dan bukan semata-mata sebagai alat untuk mencegah penghindaran pajak.
Hal ini selaras dengan OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administrations. Namun, aturan corresponding adjustment yang ada saat ini di Indonesia masih kurang memberikan kepastian bagi wajib pajak.
Menurut penulis, tujuan untuk pencegahan pajak berganda dalam konteks penyesuaian transfer pricing perlu dimasukkan secara eksplisit dalam undang-undang, yakni Pasal 18 ayat (3) UU PPh. Hal ini akan menjadi dasar yang kuat untuk dilakukannya corresponding adjustment.
Selain itu, penulis berpendapat ada beberapa aspek yang perlu diperbaiki atau ditingkatkan dalam pencegahan pajak berganda pada transaksi domestik. Pertama, corresponding adjustment secara otomatis melalui koordinasi internal otoritas pajak.
Kedua, pedoman pemeriksaan pajak untuk tidak melakukan penyesuaian transfer pricing atas transaksi afiliasi dalam negeri apabila tidak terdapat risiko penghindaran pajak. Misalnya, entitas afiliasi dikenakan perlakuan pajak dan/atau tarif pajak yang sama dan tidak ada kompensasi kerugian.
Ketiga, prosedur pemeriksaan pajak dalam pemeriksaan pajak secara grup (group tax audits) untuk menentukan alokasi keuntungan berdasarkan keuntungan yang dihasilkan pada seluruh rantai nilai (value chain) di Indonesia.
Ulasan kedua profesional DDTC ini sangat relevan dengan situasi saat ini. Tertarik membaca artikelnya? Silakan mengunjungi tautan berikut. (kaw)