PERKEMBANGAN teknologi informasi membuat inovasi keuangan berbasis teknologi (financial technology) melaju pesat. Inovasi tersebut seperti hadirnya layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi (peer to peer lending).
Jasa peer to peer lending dinilai menjadi terobosan untuk mengatasi sistem permodalan yang belum dapat terjangkau lembaga keuangan resmi seperti perbankan. Seiring berjalannya waktu, layanan peer to peer lending pun terus berkembang dan makin mudah diakses masyarakat.
Perkembangan layanan peer to peer lending tentu tak luput dari pantauan dan pengaturan pemerintah. Selain dari sisi keberlangsungan bisnis, ketentuan sehubungan dengan aspek perpajakan pun turut diundangkan. Lantas, apa itu peer to peer lending?
Definisi
KETENTUAN terkait dengan peer to peer lending tercantum dalam sejumlah peraturan, di antaranya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No.77 /POJK.01/2016 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 69/PMK.03/2022.
Merujuk Pasal 1 Angka 3 POJK 77/2016, peer to peer lending adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman untuk melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet.
Sementara itu, Pasal 1 angka 12 PMK 69/2022 mendefinisikan peer to peer lending sebagai penyelenggaraan layanan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman untuk melakukan perjanjian pinjam meminjam secara langsung melalui sistem elektronik dengan memakai jaringan internet, termasuk yang menerapkan prinsip syariah.
Merujuk pada PMK 69/2022, peer to peer lending disediakan, dikelola, dan dioperasikan oleh penyelenggara layanan yang berbadan hukum Indonesia. Selain itu, terdapat dua pelaku lain yang terlibat dalam layanan peer to peer lending, yaitu pemberi pinjaman dan penerima pinjaman.
Dalam layanan peer to peer lending, pemberi pinjaman akan menerima atau memperoleh penghasilan berupa bunga pinjaman. Bunga pinjaman tersebut dibayar oleh penerima pinjaman melalui penyelenggara layanan peer to peer lending.
PMK 69/2022 menegaskan penghasilan berupa bunga itu merupakan bunga dengan nama dan dalam bentuk apapun atau imbal hasil berdasarkan prinsip syariah. Pemberi pinjaman wajib melaporkan penghasilan berupa bunga yang diterima atau diperoleh dalam SPT tahunan pemberi pinjaman.
Selain itu, penghasilan bunga yang diterima atau diperoleh pemberi pinjaman akan dipotong pajak penghasilan (PPh) Pasal 23. PPh Pasal 23 ini dikenakan dalam hal penerima penghasilan merupakan wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT).
Apabila penerima penghasilan merupakan wajib pajak luar negeri selain BUT maka akan dikenakan PPh Pasal 26. Penyelenggara layanan peer to peer lending menjadi pihak yang ditunjuk untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 tersebut.
Sementara itu, penyelenggara layanan peer to peer lending yang ditunjuk sebagai pemotong PPh atas penghasilan bunga tersebut merupakan penyelenggara layanan yang telah memiliki izin dan/atau terdaftar pada otoritas jasa keuangan (OJK).
Dalam hal penghasilan bunga dibayarkan selain melalui penyelenggara layanan yang telah memiliki izin dan/ atau terdaftar pada OJK maka pemotongan PPh atas penghasilan bunga dilakukan penerima pinjaman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PPh.
Simpulan
INTINYA, peer to peer lending merupakan inovasi di bidang keuangan yang memanfaatkan teknologi sehingga memungkinkan pemberi pinjaman dan penerima pinjaman bisa melakukan transaksi pinjam meminjam tanpa harus bertatap muka secara langsung.
Mekanisme transaksi pinjam meminjam dilakukan melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet yang telah disediakan oleh penyelenggara layanan peer to peer lending. Ketentuan lebih lanjut terkait dengan aspek perpajakan atas peer to peer lending dapat disimak dalam PMK 69/2022. (rig)