RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Pembayaran Jasa Teknik yang Belum Dilaporkan Dalam SPT

Hamida Amri Safarina
Rabu, 16 September 2020 | 16.27 WIB
Sengketa Pembayaran Jasa Teknik yang Belum Dilaporkan Dalam SPT

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai pembayaran jasa teknik dari wajib pajak kepada pihak lawan transaksi yang berkedudukan di Jepang, selanjutnya disebut X Co. Pembayaran jasa teknik tersebut dianggap belum dilaporkan dalam surat pemberitahuan (SPT) pajak penghasilan (PPh) Pasal 26.

Dalam perkara ini, wajib pajak telah melakukan perjanjian terkait dengan pemberian jasa teknik oleh pihak X Co. Untuk melaksanakan perjanjian tersebut, X Co mengirimkan lima orang untuk mengerjakan jasa teknik di Indonesia.

Wajib pajak menyatakan sudah melaporkan seluruh SPT PPh Pasal 26 dengan benar. Menurutnya, hak pemajakan atas penghasilan yang diterima X Co berada di Jepang dan bukan di Indonesia.

Sebab, dalam hal ini, X Co tidak memiliki bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia dan pekerjaan jasa teknik juga dilakukan tidak melebihi jangka waktu (time test) yang diatur dalam perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) Indonesia dan Jepang.

Sebaliknya, otoritas pajak melakukan koreksi dasar pengenaan PPh Pasal 26 karena terdapat transaksi pembayaran jasa teknik dari wajib pajak kepada X Co yang belum dilaporkan dalam SPT. Selain itu, transaksi tersebut juga tidak didukung surat keterangan domisili dari X Co.

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Selanjutnya, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan mahkamah Agung atau di sini.

Kronologi
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan berdasarkan pemeriksaan bukti-bukti di persidangan, lima orang yang melakukan jasa teknik untuk wajib pajak merupakan karyawan tetap pihak X Co.

Berdasarkan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) Indonesia dan Jepang, penghasilan jasa tersebut baru dikenakan pajak di Indonesia apabila pihak X Co memiliki BUT di Indonesia.

Apabila X Co mempunyai BUT di Indonesia maka dikenakan PPh Pasal 23 bukan PPh Pasal 26. Dengan demikian, Majelis Hakim Pengadilan Pajak berkesimpulan koreksi otoritas pajak atas dasar pengenaan pajak (DPP) PPh Pasal 26 tidak dapat dipertahankan.

Atas permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 50284/PP/M.IVA/13/2014 tertanggal 4 Februari 2014, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 23 Mei 2014.

Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi positif DPP PPh Pasal 26 senilai Rp657.112.279.

Pendapat Pihak yang Bersengketa
PEMOHON PK menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Berdasarkan penelitian, Pemohon PK menemukan adanya transaksi pembayaran jasa teknik yang belum dipotong PPh Pasal 26.

Pemohon PK memutuskan atas pembayaran jasa teknik tersebut dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif 20%. Termohon PK seharusnya melakukan pemotongan PPh Pasal 26 atas penghasilan yang diterima X Co.

Dalam perkara ini, Termohon PK tidak dapat menunjukkan surat penugasan atas lima orang pemberi jasa teknik asal Jepang serta keterangan domisili pemberi jasa. Akibatnya, Pemohon PK tidak dapat meyakini kelima pekerja tersebut merupakan karyawan dan perwakilan dari X Co yang dikirim ke Indonesia untuk melakukan jasa teknik.

Padahal, berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-03/PJ.101/1996, wajib pajak luar negeri wajb menyerahkan surat keterangan domisili kepada wajib penerima jasa untuk selanjutnya disampaikan kepada Pemohon PK. Surat tersebut menjadi dasar untuk menerapkan PPh Pasal 26 sesuai dengan yang ditegaskan dalam P3B.

Selain itu, Pemohon PK juga tidak pernah memperoleh data atau kejelasan terkait informasi jasa teknik yang diterima Termohon PK. Adapun informasi yang tidak diketahui Pemohon PK ialah terkait uraian jasa yang diberikan, waktu pelaksanaan pemberian jasa, identitas lengkap pihak pemberi jasa, dan rincian serta formulasi penghitungan nilai jasa. Berdasarkan pertimbangan di atas, Pemohon PK melakukan koreksi DPP PPh Pasal 26.

Termohon PK tidak setuju dengan koreksi DPP PPh Pasal 26 dan pengenaan sanksi administrasi bunga yang ditetapkan Pemohon PK. Sebagai informasi, dalam perkara ini, Termohon PK telah melakukan perjanjian pemberian jasa teknik dengan pihak X Co. Untuk melaksanakan perjanjian tersebut, X Co mengirimkan lima orang untuk mengerjakan jasa teknik di Indonesia.

Termohon PK menyatakan sudah melaporkan seluruh SPT PPh Pasal 26 dengan benar. Termohon PK menyampaikan pengerjaan jasa teknik di Indonesia oleh X Co tidak melebihi jangka waktu (time test) yang ditetapkan dalam P3B Indonesia dan Jepang.

Lebih lanjut, Termohon juga sudah menyerahkan data-data pendukung, baik dalam proses pemeriksaan maupun keberatan untuk membuktikan pernyataannya, termasuk surat keterangan domisili X Co. Oleh karena itu, Termohon PK berpendapat tidak dilakukannya pemotongan PPh Pasal 26 atas pembayaran jasa teknik ke X Co sudah tepat.

Pertimbangan Mahkamah Agung
MAHKAMAH Agung berpendapat pokok permasalahan dalam perkara ini terkait pembayaran jasa teknik yang belum dipotong PPh Pasal 26. Alasan-alasan permohonan PK diputuskan tidak dapat dibenarkan. Majelis Hakim Agung menilai pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak sudah tepat dan benar. Terdapat beberapa pertimbangan Mahkamah Agung sebagai berikut.

Pertama, berdasarkan perjanjian yang dibuat oleh Termohon PK dan X Co, pihak X Co mengirimkan karyawannya untuk memberikan jasa teknik untuk Termohon di Indonesia. Dalam perkara ini telah terbukti lima orang yang memberikan jasa teknik kepada Termohon PK merupakan karyawan tetap dari pihak X Co.

Kedua, fakta-fakta di persidangan menunjukkan pihak X Co tidak memiliki BUT di Indonesia dan jasa teknik diselesaikan tidak melebihi waktu yang ditetapkan. Dengan demikian, tidak ada kewajiban pihak X Co membayarkan pajaknya di Indonesia. Dalam hal ini, Pemerintah Jepang yang memiliki hak pemajakan atas penghasilan jasa teknik yang diterima X Co.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, permohonan PK yang diakukan Pemohon dinilai tidak beralasan sehingga harus ditolak. Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.