KONSOLIDASI fiskal secara bertahap terus berlanjut. Sebagai tahun terakhir sebelum defisit anggaran kembali maksimal 3% terhadap produk domestik bruto (PDB), pada 2022 pemerintah berupaya meningkatkan penerimaan pajak sambil menjaga volume belanja stabil.
Dalam APBN 2022, target penerimaan pajak dipatok senilai Rp1.265,0 triliun. Angka itu naik tipis dibandingkan dengan target dalam APBN 2021 senilai Rp1.229,6 triliun. Namun, target yang ditetapkan untuk tahun depan juga belum kembali ke level prapandemi.
Outlook penerimaan pajak 2022 akan sangat dipengaruhi 3 hal. Pertama, realisasi penerimaan pajak 2021. Pada APBN 2021, pemerintah menargetkan penerimaan pajak senilai Rp1.229,6 triliun atau tumbuh 14,9% dari realisasi penerimaan pajak 2020.
Target 2021 yang relatif tinggi tersebut sejatinya disusun dengan asumsi adanya technical rebound yang cepat pada semester awal 2021. Namun, peningkatan kasus Covid-19 secara tidak langsung memengaruhi penerimaan pajak pada tahun berjalan.
Adanya tekanan tersebut tercermin dari outlook penerimaan pajak yang disodorkan pemerintah. Pada pertengahan tahun, pemerintah memproyeksi penerimaan pajak berada di bawah target APBN.
Indikasi menguatnya kinerja pajak 2021 baru terlihat selama September-November. Pertumbuhannya di atas 13% secara tahunan. Per November 2021, penerimaan pajak bahkan telah mencapai Rp1.082,6 triliun atau sekitar 88,0% dari target. Alhasil, peluang tercapainya target sangat terbuka.
Dengan memperhatikan pola pemulihan penerimaan pajak tersebut, DDTC Fiscal Research and Advisory (FRA) memprediksi akan terdapat tambahan penerimaan antara Rp115,8 triliun hingga Rp149,9 triliun pada Desember tahun ini.
Dengan demikian, realisasi penerimaan pajak 2021 berpotensi berada pada kisaran Rp 1.198,4 triliun hingga Rp1.232,5 triliun atau 97,5% hingga 100,2% dari target APBN 2021. Artinya, ada sinyal kuat bahwa untuk pertama kalinya sejak 2008, target penerimaan pajak kembali tercapai.
Berdasarkan pada prediksi tersebut, target penerimaan pajak 2022 senilai Rp1.265,0 triliun secara otomatis hanya mencatatkan pertumbuhan sebesar 2,6%. Artinya, tidak terlalu sulit untuk dicapai.
Kedua, pola pemulihan ekonomi nasional dan global pada 2022. Atas aspek ini, kita perlu memperhatikan 2 hal, yakni pengendalian kesehatan serta pola pemulihan aktivitas ekonomi sektoral.
Untuk poin pengendalian kesehatan, kita masih perlu melihat bayang-bayang risiko pandemi yang berlanjut, terlebih dengan adanya varian baru virus Corona. Berkaca pada pola bulanan selama 2020-2021, kenaikan kasus akan diikuti dengan perlambatan aktivitas ekonomi dan penerimaan pajak.
Di sisi lain, ada suatu harapan positif atas prospek ekonomi Indonesia pada 2022. Baik International Monetary Fund (IMF) maupun Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memprediksi ekonomi Indonesia akan tumbuh di atas 5% atau kembali ke pola prapandemi.
Namun demikian, sebagai negara dengan perekonomian terbuka, situasi pandemi pada tingkat global juga akan memengaruhi Indonesia dari sisi distorsi global value chain, mobilitas manusia, serta perdagangan internasional.
Dalam World Economic Outlook edisi Oktober 2021, IMF memproyeksi perekonomian dunia pada 2022 tumbuh sebesar 4,9% atau lebih rendah dari proyeksi untuk tahun ini yang mencapai 5,9%. Oleh sebab itu, risiko mengenai pemulihan ekonomi yang tidak berjalan normal masih sangat terbuka.
Selain itu, hal yang perlu kita tinjau juga adalah pola pemulihan ekonomi sektoral. Selama ini, pola penerimaan pajak Indonesia akan sangat dipengaruhi 5 sektor utama, yaitu industri pengolahan, perdagangan besar, jasa keuangan, jasa konstruksi dan real estat, serta pertambangan.
Kelima sektor tersebut berkontribusi lebih dari 75% dari penerimaan pajak. Pada 2022, baik industri pengolahan, perdagangan, maupun jasa keuangan diprediksi akan bergerak positif. Hal ini mengingat adanya peningkatan kegiatan konsumsi (permintaan) serta penyaluran kredit.
Sementara sektor pertambangan akan tumbuh pesat karena kenaikan harga komoditas internasional. Sektor jasa konstruksi dan real estat sudah menggeliat walaupun belum optimal. Di sisi lain, pola pemulihan sektoral juga akan berpengaruh bagi alokasi anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang turut mencakup insentif pajak dunia usaha.
Terakhir, UU HPP. Kehadiran UU HPP menjadi salah satu kebijakan yang ditujukan untuk memutus persoalan fundamental perpajakan di Indonesia. Hal ini terutama dalam rangka mendanai pembangunan secara kokoh, berkelanjutan, dan adil.
UU HPP juga hadir sebagai upaya koreksi atas sistem pajak kita yang sudah relatif lama tidak mengalami suatu perubahan, khususnya dengan mengacu pada konsep dasar dan praktik pengalaman internasional. Selain itu, tanpa adanya UU HPP, terdapat risiko pola tax ratio yang stagnan dalam jangka menengah.
Pemerintah dalam berbagai kesempatan telah menyampaikan UU HPP dapat memberikan tambahan penerimaan pajak senilai Rp136,3 triliun. Terlebih, ada beberapa menu UU HPP yang diprediksi berdampak besar bagi penerimaan.
Beberapa menu yang dimaksud seperti program pengungkapan sukarela (PPS), kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN), adanya tarif tertinggi yang baru pajak penghasilan (PPh) orang pribadi, dan sebagainya.
Atas tambahan penerimaan dari UU HPP agaknya tidak perlu kita perdebatkan. Persoalannya terletak pada seberapa besar dan sejauh mana itu mendekati prediksi pemerintah. Untuk menjawab hal tersebut, kita perlu menelisik apakah angka prediksi tersebut berdasarkan pada rancangan awal revisi UU KUP atau menu yang ada dalam UU HPP secara final?
Pasalnya, terdapat beberapa ketentuan atau instrumen penting untuk mendorong penerimaan yang awalnya diusulkan dalam rancangan revisi UU KUP justru berbeda dengan yang tertera dalam UU HPP. Sebagai contoh, penataan ulang pengecualian dan fasilitas PPN, pengaturan GAAR serta AMT, dan sebagainya.
Persoalan selanjutnya ialah adanya tantangan dalam penerapan UU HPP, khususnya mengenai kesulitan wajib pajak dalam memahami dan melaksanakannya. Konteks ekonomi pada saat pemulihan dan analisis perilaku wajib pajak yang dinamis juga perlu jadi perhatian. Singkatnya, sumbangsih UU HPP bagi penerimaan pajak 2022 belum tentu setinggi prediksi pemerintah.
DDTC FRA memprediksi penerimaan pajak pada 2022 akan berada pada kisaran angka Rp1.298,6 triliun hingga Rp1.359 triliun. Proyeksi tersebut disusun dengan proyeksi ekonometri serta pola prediksi sebagaimana telah diulas dalam DDTC Working Paper 2119 yang berjudul Metode dan Teknik Proyeksi Penerimaan Pajak: Panduan dan Aplikasi.
Dengan kata lain, terdapat pertumbuhan sebesar 5,6% hingga 10,5% dari target APBN 2021. Proyeksi realisasi penerimaan pajak 2022 tersebut seluruhnya berada di atas target penerimaan APBN 2022, yaitu sebesar 102,7% dan 107,4%.
Angka proyeksi tersebut juga telah turut mempertimbangkan adanya tambahan penerimaan hasil dari UU HPP yang akan diimplementasikan pada 2022. Estimasi tambahan penerimaan itu senilai Rp60,4 triliun atau berada di bawah prediksi pemerintah senilai Rp136,3 triliun.
Artinya, walaupun target penerimaan tahun depan sebagaimana telah tertuang dalam APBN senilai Rp1.265,0 triliun akan tercapai, jumlahnya diprediksi tidak akan melebihi penghitungan pemerintah dari dampak UU HPP senilai Rp1.401,3 triliun.
Namun demikian, harusnya hal ini tidak diartikan untuk ‘mengecilkan’ peran dari UU HPP. Penerapan UU HPP pada 2022 merupakan fondasi awal yang penting untuk lebih meningkatkan penerimaan pajak pada tahun-tahun selanjutnya.