Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo.
DIGITALISASI administrasi perpajakan menjadi salah satu agenda yang harus dikebut pada 2023. Hal ini dikarenakan Ditjen Pajak (DJP) berencana mengimplementasikan pembaruan sistem administrasi perpajakan (PSIAP) mulai 2024.
Selain itu, penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang menjadi amanat Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) juga diimplementasikan secara penuh pada 2024. Artinya, persiapan harus rampung pada 2023.
Pada saat bersamaan, DJP juga tetap harus berfokus pada pengamanan target penerimaan pajak di tengah ketidakpastian ekonomi. Untuk mendapatkan gambaran sejumlah agenda dan situasi pada 2023, DDTCNews berkesempatan mewawancarai Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo. Berikut petikannya:
Kalau ngomongin pajak, enggak bisa lepas dari kondisi ekonomi. Ini karena pajak itu memang ekor dari aktivitas ekonomi. Mau bicara PPh, ya yang bayar orang yang punya penghasilan. Bicara PPN, ya [dari] orang yang melakukan konsumsi. Itu semua sangat tergantung pada situasi ekonomi dan daya beli masyarakat.
Saya melihat 2020, 2021, dan 2022 ini kan progresivitasnya sangat terlihat. Kondisi ekonomi bertumbuh dan [Indonesia] masuk negara yang secara konsisten bertumbuh. Indonesia adalah satu dari sedikit negara yang sanggup menjaga resiliensi. Itu terlihat dari indikator makronya.
Untuk 2023, ekspektasi banyak pihak, termasuk di G-20, sudah disampaikan. Kalau bahasa sederhana kami optimistis, tetapi mesti menyadari situasinya tetap waspada. Kegiatan ekonomi Indonesia solid, tetapi kegiatan ekonomi di luar tidak bisa dipandang sebelah mata untuk memberikan cerita. Beberapa pimpinan negara juga bilang bahwa akan berat. Pak Presiden pun juga menyampaikan.
Namun, dari sisi penerimaan ya kita jagain. Di sisi lain, seperti 2020, kita masuk dengan cerita insentif kan. Kita lihat ke depannya seperti apa. Istilah kata, yang mampu dilakukan dengan instrumen pajak, ya kita jalani. Orang karyawan di-support, pengusaha di-support. Supaya apa? Kondisi ekonomi berjalan. Secara prinsip, bagaimanapun kegiatan ekonominya, kami pasti akan ikut [berperan].
Karena uncertainty menjadi certain kalau waktunya sudah lewat. Nah, melihat situasinya, kita mencoba berhitung ekspektasi. Contohnya harga komoditas. Kan ada polanya. Kita melihat setiap siklus berapa tahun sekali harga komoditas turun. Nanti naik lagi.
Jadi, kami mencoba berhitung sedekat mungkin dengan beberapa opsi skenario. Contoh, pernah atau enggak harga komoditas cukup lama dalam suatu batas harga tertentu? Kayaknya enggak kan. Saya bisa katakan bagian dari penerimaan pajak yang cukup signifikan pada 2021 dan 2022 karena pengaruh ekspor komoditas.
Kemudian, ada UU HPP yang kita jalankan. [Penerimaan dari] PPS (Program Pengungkapan Sukarela) masuk Rp61 triliun. Di 2023 kan kita udah enggak hitung. Ada normalisasi karena yang Rp61 triliun kita engga masukkan. PPN dengan sendirinya karena tahun ini sudah naik, tahun depan moderat lah pertumbuhannya.
Ya kami secara konteks mencoba mendekatkan. Kira-kira sampai seperti apa. Makanya tadi, optimistis tetap kami jalankan. Prospek ekonomi jalan. Namun, waspada enggak bisa kita abaikan karena faktor harga komoditas dan sebelah sana [adanya ketegangan geopolitik].
Ada pengaruh rantai pasok juga. Kita bisa melihat kondisi importasinya. Kan sudah kelihatan [ada penurunan]. Pada Oktober, [kinerja bulanan penerimaan] PPN sudah mulai [ada penurunan] walaupun baru kelihatan sebulan ya.
Iya, lebih ke situ sebenarnya. Kita mesti waspada karena industri menghasilkan produk. Produknya diserap enggak nih? Kayak sekarang di Eropa. Harga energi naik. Orang memilih beli baju atau kedinginan? Kalau milih beli baju kan enggak kedinginan, tapi bayar [membeli produk].
Kita engga bisa lepas dari langkah-langkah untuk menjalankan undang-undang kemarin yang belum selesai. Nah, bisa atau enggak sekarang reform administrasi kita jalankan? Kalau pengawasan seperti apa? Kita ilmunya itu.
Kalau ilmu [terkait dengan] policy, ya itu implementasi dari policy. Kemarin kita sudah jalankan banyak, [pengenaan pajak] fintech, kripto, dan PMSE (perdagangan melalui sistem elektronik). Kemudian, naik tarif [PPN]. Itu kan bagian dari itu.
Nah, bagaimana mengawal supaya betul-betul sesuai [kebijakan]? Itu kan tugas administratif. Kita jalankan dengan persiapan coretax. Jadi, bagaimana supaya orang bisa terawasi oleh DJP? Itu yang kita lihat secara administratif. Ya nagih, kita punya porsi nagih. Periksa, kita punya porsi periksa. Penegakan hukum, kita ada.
Makanya kan kenapa 2023 targetnya Rp1.718 triliun kan? Ya kita antisipasi tadi. Jadi, bukan berarti kita mengecilkan cerita. Kalau masalah pekerjaan saya yakin sama. Mungkin masalah prioritas yang sedikit berbeda. Karena kalau kita kerjakan sesuatu kan ada prioritas.
Di 2023 kita mau ngapain sih? Baseline sama, coretax kita siapkan, termasuk database-nya. Itu yang kita kuatkan. Kemarin PPS sudah selesai, follow up-nya seperti apa? Ini jadi bagian yang mesti kita dudukkan pada tahun 2023.
Pokoknya, 2023 itu, saya lagi nyetel Komite Kepatuhan nasional. Akhir tahun ini, paling enggak come-up dengan skenario tahun 2023 kita mau ngapain sih? Ngawasin, siapa diawasi? Periksa, siapa yang diperiksa? Biar lebih sistematis.
Ya di antaranya pakai itu karena CRM enggak bisa kita hindarkan. Itu merupakan salah satu tools waktu kita tentukan prioritas. Pendekatannya ke mana? Oh, berarti sektor yang lagi banyak duit yang diawasi. Data dan informasi di sektor itu kita kumpulkan.
Risk management-nya seperti apa, kita taruh. Perlu dipilah-pilah. Kalau enggak [dipilah], ya enggak kuat. Orangnya [pegawai] cuma 46.000. Pemeriksa 6.000. Pengawas 10.000. Jadi, kita susun prioritasnya. Jadi, prinsipnya ya perluasan basis. Pasti. Itu ilmu kuno ya, tidak ada lagi.
Untuk komoditas kan kita bicara pembayaran masa tahun berjalan. Kerjaan kita mengawal [pembayaran] masa. Kalau lagi bagus ya kita pasti nanya untuk nambah setoran. Dinamisasi. Kalau lagi enggak bagus, ya apa yang bisa di-support.
Kalau past activities, misalnya 2022 dan 2021, kita kumpulkan ternyata [ada data] berserakan. Bisa atau enggak data yang kita kumpulkan itu kita bangun untuk memberikan assessment SPT. Modus operandi kita kan begitu: kumpulkan data, taruh susunannya, assess SPT yang dilaporkan.
Kalau sudah confirm, ya sudah, kita tinggalkan. Kalau masih ada cerita, kita masuk. Makanya, risk management muncul, yang mana duluan. Kalau saya lebih memprioritaskan pengawasan. Jadi, saya lebih cenderung ngasih pesan [misalnya] 'Mas ada yang kurang lho. Ini datanya’. Sama seperti waktu PPS, tak kirimi email saja. Kita buka.
Itu efektif. Walaupun saya enggak tahu ya berapa email yang dibuka orang. Namun, saya lihat tingkat kepatuhan orang bertambah bukan hanya karena diperiksa. Adanya pesan itu bisa membuat orang lebih patuh karena saya punya data dan email-nya.
Itulah kenapa di UU HPP, NIK menjadi salah satu faktor yang kami dorong. Kalau NIK, berarti sudah menunjuk ke orang langsung. Untuk mengadu data, NIK juga lebih mudah. Jadi, lebih mudah lakukan cross matching data. Jadi, tahun depan sebelum coretax [diimplementasikan], semaksimal mungkin harus kita jalankan [pemadanan data] yang NIK tadi. Kalau itu bisa, mesin akan lebih mudah melakukan agregasi data.
Implementasi coretax itu kan kita rencanakan 1 Januari 2024. Jadi, 21 proses bisnis yang sedang kita bangun itu [diimplementasikan mulai] 1 Januari 2024. Saya tinggal punya waktu setahun.
Yang saya lakukan apa? Saya siapkan prakondisi atau kebutuhan-kebutuhan yang harus diperlukan sistem coretax. Ini supaya pas implementasi, sistemnya betul-betul optimal. Apa saja? Banyak karena sistem pasti butuh data. Termasuk kesiapan orang di sekeliling kita dengan sistem baru.
Interoperability dengan para pihak itu harus kita jalankan. Itu tidak bisa kita hindari karena data yang kita kelola itu data internal. Wajib pajak sampaikan ke kita. Terus, ada data dari para pihak, kementerian/lembaga.
Saya pakai backbone-nya kan Dukcapil nih karena sudah bicara implementasi NIK-NPWP. Dengan pihak lain itu, selama ini kita jalan. Namun, saya ingin kalau bisa pakai ‘selang’, kenapa harus pakai ‘pos’. Terhubung. Jadi, lebih bagus kita sambung daripada kita kirim-kirim. Ini yang terus kita jalani. Dengan bank kita jalankan.
Kemudian, data yang sifatnya [berdasarkan] permintaan juga ada dengan lembaga lain. [Permintaan data dengan Kementerian] ATR sedang kita jalani. Dengan Dukcapil pasti. Imigrasi, berkaitan dengan lalu lintas orang, juga kita coba. Pokoknya data apa saja kita ambil, tapi yang penting satu: parameter identitas harus sama. Makanya, di UU HPP, kita pakai NIK.
Dengan posisi ini, ekspetasi saya terlalu tinggi. Untuk mesin sebetulnya. Karena apa? Pada waktu semua data masuk, kita sudah bikin formulasinya. Mesin punya. Risk management yang kita taruh di atas.
Jadi, di 2023, itu yang menjadi PR (pekerjaan rumah) saya sebetulnya. Menyelesaikan coretax sendiri. Coretax itu kan baru sistem inti ya. Nanti saya siapin yang diperlukan sekelilingnya. Kemudian, kami siapkan penajaman proses bisnis.
Ngawasin lebih mudah gimana sih. Logika yang saya bangun, kalau dalam setahun ngawasin 5 WP (wajib pajak) misalnya, dengan coretax saya kepengin bisa awasi 10 WP. Begitu. Dengan infrastruktur yang lebih bagus, harusnya bisa mengawasi lebih dari 5 WP. Jadi, seluruh WP bisa diawasi dengan bantuan itu.
AR (account representative) saya kan 10.000. Pemeriksa 6.000. At least 16.000 orang itu bisa duplikasi pekerjaan. Waktu lebih pendek, kuantitas lebih banyak. Saya ingin lagi, yang namanya pelaksana kan kita ada sekitar 30.000-an. Kita ingin yang tadinya 16.000 jadi 30.000 pengawas sama pemeriksa. Saya nambah lagi 14.000-an orang.
Saya masih punya PR jangka panjang ngatur 14.000 harus bisa ngawasin atau meriksa. Bagaimana caranya? Harapan saya kayak tadi, kalau pemeriksa bisa duplikasi pekerjaan atau memperpendek waktu bekerja, ini juga sama.
Harapan saya, makin banyak yang bisa kita kerjakan, makin banyak yang bisa kita sentuh, makin banyak penerimaan. Nah, PR-nya, sistem jelas. Sekeliling mesti dibangun. Kemudian, orang harus disiapkan. Paling enggak yang 14.000 orang.
Pasti, karena saya dudukkan ini sebagai total reform. Jadi, reform pajak tidak hanya mengganti aplikasi. Reform isn’t just setting atau implementing aplikasi. Aspek yang lebih penting adalah menyiapkan SDM, orangnya. Lalu kebutuhan sistemnya. [Penataan SDM] harus gradual.
Kalau dengan coretax yang baru, heavy kita di pengawasan. Kalau layanan pasti. Penyuluhan mutlak karena tadi, logika bahwa orang Indonesia lebih senang diajak bicara daripada ditakut-takutin. Nah, setelah itu, kalau ketemu data lain, diingetin. Diajak ngomong. Kalau diingetin enggak mau, baru diperiksa. Kita bicara international best practice tetapi juga sesuaikan dengan kearifan lokal.
Coretax akan memudahkan WP akses ke kita. Jadi, saya ingin semuanya didigitalisasi. Namun, sebagai opsi ya karena belum tentu semua orang bisa menjalankan [hak dan kewajiban] secara digital. Kami tetap membawa mereka, bahwa dengan digital akan lebih mudah. Ini bahasa yang kami selalu sampaikan ke masyarakat. Jadi, platform digital untuk segala kemudahan layanan.
Jadi, taxpayer account management itu seperti jendela yang kita buka bagi WP. Misal, saya punya aktivitas mulai dari layanan sampai dengan penegakan hukum. Misal, yang bersangkutan sedang diperiksa. Kapan diperiksa? Kapan selesainya?
Jadi, WP enggak perlu datang ke kantor pajak sudah tahu ceritanya. Misal, dia mengajukan permohonan. Dia bisa ngecek sampai di mana permohonannya. Di taxpayer account management tadi. Kalau dia punya tagihan, ada di situ. Kalau sekarang, enggak bisa ngecek, kecuali di catatan dia sendiri.
Kalau sekarang ada EFIN. Nah, itu menjadi akses kita masuk ke taxpayer account management. Itu terlihat semua dari profil. Misal, dia punya tempat usaha baru, dimasukkan ke situ. Jadi, betul-betul customized.
Itu termasuk permohonan. Misal, surat keterangan fiskal (SKF). Mau minta lebih bayar, bisa diajukan. Permohonan MAP juga. Semua permohonan WP ditaruh di situ. Konteksnya, dikasih jendela untuk kemudahan. Jadi, dia mau komunikasi sama siapa, ya silakan.
Iya. Punya e-banking kan? Pasti masuk ke kamarnya sendiri kan? Nah, kalau masuk, saldo ketahuan. Mau transfer ke siapa kan ada kamar sendiri. [Taxpayer account management] sama kayak gitu. Jadi, saya masuk. Saya ingin cek apakah sudah memasukkan SPT, sama kayak cek saldo. Saya ingin dapat SKF, mau print atau mau dikirim ke email? Jadi, modus operandi layanan sederhana yang kami taruh.
Nah, kita kan sudah punya banyak model transaksi. Sudah ada e-faktur. Konfirmasi bukti potong sudah ada. Orang tinggal cek saja. Misalnya, SPT tidak cocok, tinggal update saja. Pengembalian pendahuluan, kalau sekarang saat orang mengeklaim, kami teliti. Nanti, di rencana saya, enggak usah diklaim. Kita buat satu platform, lebih bayarnya dikasih. Namun, kita jagain risk management-nya.
Jadi, harapan saya taxpayer account jadi satu catatan cerita. Taxpayer account ini bukan hanya ke WP tapi juga kita sendiri, termasuk buat laporan keuangan DJP. Ekspektasi penerimaan tahun depan berapa, sudah dimasukkan ke situ.
Kalau [penerimaan data] ILAP (instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lain) itu kan ada yang sifatnya yearly basis, ada yang by request. Yang menjadi isu adalah kemudahan perbankan untuk saling connect dengan kita terkait dengan ILAP tadi. Ini sudah saya jalanin.
Dengan teman perbankan kita engage. Dengan beberapa perbankan di kloter pertama, kita taruh soal pembayaran, informasi, dan data yang valid. Kita kumpulkan semuanya dan harapannya pada tahun ini selesai.
Inginnya begitu. Kalau bicara soal keamanan data, itu bisa terjadi kalau betul-betul tidak ada perantaranya lagi. Saya punya protokol keamanan, mereka punya protokol keamanan, connect. Sama protokolnya. Insyaallah datanya aman. Kalau sudah pakai intermediary itu susah. Kecuali pakai intermediary-nya memang disepakati. Sampai saat ini, kalau masalah akurasi data dan kerahasiaan segala macam alhamdulillah terjaga. Sekarang tinggal bagaimana kita menjaga jangan sampai bocor.
Kita jalan terus karena belum tentu semua daerah memiliki sesuatu yang sama. Yang kita sambungkan adalah data perpajakan yang ada di daerah karena subjek pajaknya kan hampir sama. Subjek pajak hotel dan restoran serta subjek PPh kan sama. Subjek retribusi dan subjek PPh itu sama. Ini yang kita coba sambungkan.
Kemudian, daerah itu kan punya prioritas juga. Di coretax ini saya bikin, kalau ketemu pemda itu, ini lho paketnya. Ketemu dengan bank, ini lho paketnya. Jadi, kita tidak meng- customized untuk satu-dua bank lagi. Jadi, kita tinggal colokin saja. Lebih memudahkan. Kita buat standardisasi.
Fokus kita ya connect antara satu dan yang lain. Ini kan baru 2021 dan saya jadi chair yang pertama. Ini sesuatu yang bagus karena yang diinginkan setiap sama, yaitu mendapatkan data untuk meningkatkan penerimaan.
Pertanyaannya kan selama ini kita bertukar data lewat CRS dari Global Forum. Kita sudah jalan itu, tapi assess ini kayaknya ada yang perlu diperbaiki, termasuk struktur datanya. Itu semua kita bicarakan. Lalu, ada juga capacity building karena setiap negara beda-beda.
Ada beberapa yang begitu. Itu kita pisahkan dan kita akan konfirmasi ulang. Namun, secara prinsip apakah bermanfaat? Luar biasa manfaatnya. Contoh, saat PPS, 3 juta surat itu dari mana datanya? Mostly dari AEOI antarnegara, EOI domestik, kendaraan bermotor, ATR, dan kepemilikan saham.
Ini masih menunjukkan harta ya, bukan penghasilan. Kalau bicara penghasilan, harus cocokin dan analisis. Jadi, tidak bisa data diserahkan lalu jadi potensi. Makanya disusun. Ini data penghasilan maka kita uji penghasilannya. Kalau data biaya, kita uji biayanya. Kalau harta itu kita taruh sendiri karena harta itu adalah incremental dari penghasilan yang tidak habis dibelanjakan.
Kita ini kan ada keterikatan global. Kita ini adalah bagian dari negara yang menjunjung tinggi kesepakatan global. Konsensusnya ini kita pegang. Kalau sepakat ke sana maka kita ikuti. Ini kita sedang siapkan Pilar 1 seperti apa, Pilar 2 seperti apa, kita kalibrasi. Secara prinsip kita adalah bagian dari konsensus.
Mengenai transisi, kalau kita membuat peraturan, yang jelas tidak membuat wajib pajak lebih sulit. Itu basic norm-nya. Tidak membuat wajib pajak menjadi lebih terberatkan. Kalau dulu Anda sering lihat, peraturan yang mengenakan [pajak], itu enggak mungkin berlaku retroaktif. Kalau untuk membebaskan [pajak], bisa retroaktif.
Jadi, tidak usah khawatir masyarakat. Kami paham betul. Norma itu yang kami pegang. Kalau diimplementasikan di masa tertentu, tidak akan memberatkan masyarakat. Itu secara prinsip. (kaw)