Dirjen Pajak Suryo Utomo. (foto: Ditjen Pajak)
PANDEMIÂ Covid-19 masih menyisakan dampak yang amat besar terhadap perekonomian hingga tahun 2021. Sebagai respons dari sisi perpajakan, target penerimaan pajak pada 2021 ditargetkan hanya tumbuh sebesar 2,6% dibandingkan dengan target APBN 2020.
Meski target hanya tumbuh tipis, DJP tetap berupaya terus memperluas basis pajak melalui berbagai kebijakan, mulai dari pengawasan berbasis kewilayahan, relaksasi sanksi melalui UU Cipta Kerja, dan peningkatan digitalisasi pelayanan wajib pajak.
Dalam wawancaranya dengan DDTCNews, Dirjen Pajak Suryo Utomo menekankan DJP berperan penting menjaga keberlangsungan usaha sekaligus meningkatkan tax ratio, baik dari sisi kepatuhan maupun dari sisi kebijakan. Berikut petikannya.
Target penerimaan pajak 2021 naik 2,6% dari target tahun ini. Realistiskah menurut Anda?
Kalau bicara 2021, kan target tumbuh 2,6% dengan ekspektasi kondisi perekonomian paling tidak ada recovery. Jadi di kuartal II/2020 ke kuartal III/2020 mulai recover, tapi secara mengejutkan bottom-nya kan seakan-akan kuartal III/2020 dan baru meningkat kuartal IV/2020.
Pertanyaannya kalau tadi apakah penuh tantangan? Luar biasa tantangannya. Kalau realistis ya realistis waktu didesain, tapi amanat itu harus direalisasikan.
Bahasa sederhananya, pajak itu kan efek dari aktivitas ekonomi. Kalau ekonomi pulih maka pajak akan ikut pulih, ceritanya begitu. Namun, tantangan 2021 perlu didalami lebih lanjut. Contoh, PPh Badan itu kan mengikuti performa 2020, PPN lebih ke arah aktivitas ekonomi.
Jadi kayak kemarin waktu PSBB, PPN pasti agak terhambat. PPN lebih erat kaitannya dengan aktivitas orang berkonsumsi. Tantangannya di satu sisi kami harus maintain yang terkait dengan ekonomi secara langsung.
Di sisi lain kami masih melihat dimensi tax ratio yang masih belum cukup tinggi. Maknanya, kami masih ada ruang untuk melakukan intensifikasi dan bahkan ekstensifikasi.
Pada 2020 ini kan ceritanya kami ingin memperluas basis pajak salah satunya dengan UU Cipta Kerja, terutama basis kegiatan usaha dan aktivitas bisnis. Ini nanti dalam pergerakan waktu akan kelihatan. Jadi tantangan muncul waktu kita memperluas basis di situasi seperti ini. Ini tantangan DJP
Namanya amanah maka tentu harus kami tuntaskan. Dengan resource yang kami miliki ya otomatis kami harus menggerakkan resource yang kami punya supaya mengurangi gap antara tax ratio dan kolektibilitas yang seharusnya.
Seperti apa strategi DJP dalam mengumpulkan pajak tahun depan?
Tugas kami adalah mencari basis pajak baru. Jadi upaya kita ke depan mencari basis pajak baru. Ini caranya macam-macam misalnya melalui objek baru, orang baru, atau orang lama yang kurang membayar pajak.
Dalam pergerakan kita ke depan 2021, itu logikanya yang satu kita mengawasi aktivitas perpajakan sesuai kondisi ekonominya. Kami melakukan pengawasan atas pembayaran masa dari bulan ke bulan. Kalau lagi bagus maka kita minta kontribusi lebih, itu kelihatan dari sisi PPN.
Untuk subjek baru kita memperluas basis dengan pengawasan kewilayahan. Kami lihat daerah mana yang tumbuh dan kami masuk dan berkomunikasi dengan calon WP di situ. Itu cara kami memperluas basis.
Tidak bisa dimungkiri, terdapat size yang belum kita cover karena kami sangat mengandalkan data dan informasi. Namun, di satu sisi data dan informasi mengenai calon WP belum sepenuhnya lengkap. Jadi kami turun dengan pola kewilayahan. Kami cari WP baru di titik-titik baru di masing-masing KPP kami.
Soal basis baru yang lain, kami manfaatkan data dan informasi untuk pengawasan. Istilah kata, kami menguji kepatuhan dengan data dan informasi yang kami miliki seperti data keuangan, aset, dan data yang disampaikan pihak lain. Ini dikumpulkan jadi satu dan kami sampaikan kepada WP.
Begitulah cara kami memperluas basis melalui intensifikasi. Data dan informasi dan internet tetap digunakan. Penetrasi tetap kita lakukan, kemudian dengan intensifikasi.
Apakah akan ada objek baru? Kalau bicara objek baru maka kita bicara UU yang bicara mengenai objek baru. Hingga hari ini UU yang ada yakni UU PPh, UU PPN, dan Perppu No. 1/2020, semuanya belum bicara mengenai objek baru.
Namun, ada titik-titik yang selama ini belum bisa kami capture contohnya PMSE. UU PPN sesungguhnya mengatur penyerahan barang dari PMSE itu kena PPN, tapi yang harus bayar siapa? Kalau di UU PPN adalah yang memanfaatkan.
Namun, karena satu dan lain hal kan itu susah nih mengejar pengguna barang dan jasa seperti mereka yang nonton Netflix. Jadi saya minta pengelola PMSE jadi pemungutnya.
Jadi cara memungutnya yang mungkin tidak ada di UU PPN selama ini sehingga muncul di Perppu No. 1/2020. Sekarang sudah ada 46 pemungut, yang terus bertambah antarwaktu. Itu salah satu cara kami meng-collect.
Pada UU Cipta Kerja, kami juga mempermudah WP agar bayar pajak makin mudah. Orang berusaha juga makin mudah, tapi kami enggak kehilangan pajak dari sektor itu. Contoh banyak transaksi elektronik. Bagaimana kami memungut pajak dari transaksi elektronik di dalam negeri? Ini kita pikirkan.
Ini tidak bisa dimungkiri ada pemain di dalamnya yang belum ber-NPWP. Ini ke depan saya melihat di dimensi itu. Bagaimana kita mengemas supaya basis baru dan orang baru bisa di-capture dengan kemudahan yang kami tawarkan supaya mereka tenang berusaha dan pajaknya bertambah.
Pada UU Cipta Kerja juga ada untuk peningkatan kepatuhan. Ada kemudahan sanksi agar lebih mudah dan murah. Tujuannya adalah untuk bilang daripada Anda diperiksa mending Anda betulin. Sanksi pembetulan SPT itu lebih murah dari sanksi ketika diperiksa. Ini yang kami kembangkan.
Dari sisi PPN kan selama ini kita ada masalah orang diperiksa, pajak masukannya nggak pernah dilaporkan lalu ketemu pajak keluaran. Yang mesti dikenakan adalah 10% dari pajak keluaran dengan asumsi dia sudah bayar pajak masukan.
Dengan UU Cipta Kerja, kami dorong pajak keluarannya dibayar dan pajak masukan dihitung dan bisa dikurangkan. Ini untuk membangun kepatuhan sebagai warga negara. Jadi kami posisikan pajak sebagai instrumen penerimaan sekaligus pertanggungjawaban pribadi sebagai WNI.
Bagaimana DJP menjalankan pengawasan berbasis kewilayahan di tengah pandemi Covid-19 tahun depan?
Kami tetap akan menjalankan karena tidak ada pilihan. Ada protokol kesehatan dan teman-teman di lapangan tetap kami bekali. 3M ini menjadi penting, protokol kesehatan tetap jalan seperti memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, itu semua mutlak.
Apakah pada tahun ini maksimal? Harus diakui enggak, bagaimana mau maksimal mau ketuk pintu orang takut nemuin. Jangankan ekstensifikasi, meriksa orang aja takut. Datang ke kantor takut, pemeriksa mau datang juga belum tentu mereka bisa menerima dengan pemahaman sama.
Ini tantangan riilnya dari sisi interaksi. Jadi saya apresiasi teman-teman saya di lapangan itu. Dengan komitmen yang sama masih tetap masuk. Kami paham persis pajak itu penting untuk pemulihan ekonomi. Jadi kami konsisten untuk cari peluang baru di tengah keterbatasan yang ada.
Pada Renstra DJP 2020-2024, DJP disebutkan ingin menciptakan kebijakan fiskal yang ekspansif sekaligus konsolidatif. Apa maksudnya?
Kalau renstra maka kita bicara Renstra Kemenkeu dahulu. Di situ ada kebijakan fiskal ekspansif konsolidatif. Ini ke arah bagaimana kebijakan fiskal responsif merespons situasi. Jadi bagaimana menentukan pengeluaran dan penerimaan untuk menjaga kesehatan dan mengawal pertumbuhan.
Jadi banyak yang berusaha kita kompilasikan di situ, ekspansif supaya bisa mendorong ekonomi agar tidak stagnan dan terus melanjutkan recovery. Itu yang dimaksud dengan ekspansif.
Ke depan tetap ada bansos dan macam-macam digulirkan agar ekonomi bergerak. Jadi yang dimaksud dengan kebijakan fiskal ekspansif konsolidatif ini adalah keterukuran. Jadi kita lakukan sesuatu yang benar-benar memberikan dampak.
Dari sisi DJP, ke depan prinsipnya optimalisasi penerimaan negara lewat perluasan basis pajak. Caranya seperti tempatnya Pak Yoga [Direktorat P2Humas], bagaimana memastikan masyarakat bisa terlayani dengan mudah dan bagaimana masyarakat bisa mengetahui hak dan kewajibannya.
Ini kelompok besar yang agak sulit dikuantifikasi, tapi harapan besarnya dengan kemudahan, maka kepatuhan akan naik. Kami memakai teori kepatuhan itu tidak hanya berlandaskan enforcement, tapi kepatuhan juga bisa meningkat karena pelayanan. Jadi ini yang kita mudahkan.
Dampaknya ini tidak bisa serta merta, harus jangka panjang. Di sisi lain, ada perluasan basis pajak dengan cara bagaimana orang masuk ke sistem seperti melalui pengawasan kewilayahan tadi. Karena model kerja kita yang berubah pada 2020, bentuk organisasi juga kita sesuaikan.
Organisasi selama ini khususnya unit vertikal terutama KPP Pratama itu selama ini mengelola WP di wilayah masing-masing. Seksi ekstensifikasi tugasnya cuma cari WP baru.
Ini kita format ulang sehingga kita bisa mengelola WP yang selama ini menjadi penentu penerimaan dan kemudian kami siapkan beberapa seksi di KPP Pratama untuk mencari informasi dan data WP baru. Jadi secara kontekstual harus berubah secara struktur.
Karena organisasinya berubah maka level kapabilitasnya harus disesuaikan. Siapa harus melakukan apa dan juga ada delayering sesuai arahan presiden sehingga akan ada penambahan jabata fungsional, tidak hanya di DJP tapi semua K/L. Ini semua untuk debirokratisasi.
Jadi operasionalisasi ini harus ada penyesuaian sesuai kapasitas dan kemampuan. Jabatan serumpun kami jadikan satu, contoh AR dan pemeriksa, yang satu mengawasi dan satu memeriksa. Keduanya sesungguhnya hampir sama. Jadi sekalian kita pikirkan bagaimana dari ke-SDM-an di DJP.
Tak hanya KPP, kanwil dan kantor pusat juga berubah. Ini adalah bagian dari reformasi perpajakan yang sedang kita jalankan. Tidak bisa dihindari proses bisnis DJP ini akan berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Semua sudah digital, seperti contoh nanti akan ada 3C.Â
Di dalam renstra juga tertulis DJP akan membentuk unit baru. Apa tujuannya?
Unit baru di DJP itu ke depan 2021 akan kita luncurkan 18 KPP Madya baru, sekarang ada 20 KPP Madya. Besok mulai SPT Tahunan masuk April atau Mei 2021 akan kami luncurkan 18 KPP Madya baru yang mengurus WP besar di wilayah masing-masing.
Jadi saat ini ada 20 KPP Madya di 20 Kanwil DJP, nah harapan besarnya satu kanwil akan ada 2 KPP Madya. Kami melihat KPP Madya itu WP yang dikelola kan itu-itu saja. Jadi ketika kami mengawal ya kepatuhan WP itu-itu saja terus.
Jadi WP besar yang selama ini di KPP Pratama akan kami kelompokkan lagi di KPP Madya. Tugas besar nanti ada di KPP Pratama. Pada waktu WP besar naik ke KPP Madya, otomatis KPP Pratama kami minta untuk mencari sumber baru di wilayahnya.
Kami pindah yang besar. Kami awasi dan kami layani agar kepatuhannya meningkat. Di sisi lain KPP Pratama mencari orang-orang baru. Mereka didorong untuk lebih intensif melihat yang selama ini belum terlihat.
Jujur saja KPP kita ada 352 untuk mengawal WP 40 juta. Satu orang bisa ribuan WP yang harus di-cover. Jadi modus operandi kita akan geser ke sana. Jadi mendorong untuk mengawasi WP yang selama ini belum sempat diawasi karena WP besarnya kita bawa ke KPP Madya.
Pada situasi pascaresesi nanti, penegakan hukum oleh DJP akan seperti apa, lebih longgar atau normal?
Jadi di tengah resesi ini kami harus mengambil peran untuk menstimulasi. Kami harus mendudukkan pajak harus tetap terpenuhi. Dalam waktu kebijakan PEN kan insentif masuk terus untuk mendorong mereka bertahan dan selanjutnya kami ingin mereka aktivitasnya langsung bangkit.
Dari sisi implementasi, kami harus bijak dalam artian kalau kami mendorong untuk tumbuh maka pengawasan harus tetap sama. Kami akan ingatkan dan kalau harus diperiksa ya kita periksa, tapi tidak dalam situasi memaksa. Saya pikir komunikasi ini penting dan mutlak. Ini bahasa sederhana.
Sekarang kami lebih memainkan peran mengolaborasikan cerita seperti pokok pajak kalau dibayar sanksinya lebih murah loh daripada sebelumnya. Ini bauran kebijakan yang kita dudukkan.
Kami tak bisa menghilangkan tugas pengumpulan, tetapi kami tahu persis dan harus kepada siapa? Prioritasnya nanti kepada WP yang tidak terlalu terpengaruh oleh Covid-19. Ada juga sektor yang terdampak tapi enggak parah. Jadi winning sector ini betul-betul kami antisipasi.
Aktivitas kami most likely sama. Kami juga memiliki keterbatasan soal daluwarsa. Jadi kami harus manage hal itu. Jadi kami jaga bareng-bareng dengan mengingatkan dan melalui UU Cipta Kerja yang merelaksasi sanksi. Ini bahasa-bahasa yang kita sampaikan ke WP.
Jadi nanti akan timbul ekuilibrium. Kami dorong mereka tetap menjalankan usahanya tapi di sisi lain ada tugas untuk memenuhi kewajiban. Inilah art of collection di DJP di tengah Covid-19.
Kira-kira kapan penerapan PPh PMSE atau PTE dimulai? Apakah menunggu hasil konsensus yang diprediksi pertengahan tahun depan?
Secara prinsip yang disampaikan oleh Bu Menteri [Sri Mulyani Indrawati] adalah kami bagian dari komunitas internasional. Di G20 isu itu dibahas dan harapannya bisa tercapai pada 2020, tapi karena Covid-19 dan pertimbangan kondusifitas kan diharapkan bisa tercapai pada pertengahan 2021.
Komitmen kami adalah kami mencoba duduk bersama. Bagaimanapun long term solution adalah kunci dan kami bersiap kira-kira seperti apa. Kami berharap kesepakatan tercapai pada 2021.
Untuk sekarang kami menggunakan infrastruktur regulasi yang ada tadi. Kalau ada uang secara fisik hadir di Indonesia maka mengapa tidak? Itu infrastruktur yang sementara ini kita punya.
Kalau PPh PMSE dan PTE ini kan belum ada PP-nya jadi saya enggak bisa berandai-andai, tapi harapan besarnya ini dicapai melalui solusi global. Dengan infrastruktur yang ada di UU PPh, kami melihat sejauh mana kita bisa exercise. Itu yang disampaikan oleh Bu Menteri sebenarnya.
Dengan UU PPh yang ada bisa enggak kita mengenakan pajak. Oleh karena kuncinya adalah kehadiran fisik, maka kita lihat secara fisik hadir enggak? Ini yang berusaha kami dalami.
Secara prinsip kami menunggu, mudah-mudahan bisa tercapai. Kami berpikir positif konsensus dapat tercapai karena ini keinginan semua pihak. (Pewawancara: Muhammad Wildan/Ringkang Gumiwang/Bastanul Siregar)